Senin, 15 April 2024

SAMBUTAN SUSANTO ZUHDI PADA BUKU JARINGAN MARITIM MANDAR

SAMBUTAN
Susanto Zuhdi
Profesor Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 
Universitas Indonesia

Dengan suka cita, saya menyambut baik atas penerbitan buku karya Dr. Abd. Rahman Hamid. Buku ini berasal dari disertasi yang dipertahankannya dalam ujian promosi di Universitas Indonesia pada 18 Januari 2019. Hamid adalah salah satu mahasiswa terbaik, yang pernah saya promosikan sebagai doktor Ilmu Sejarah. Dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) nyaris 4 (empat),  sebetulnya ia memenuhi syarat untuk memperoleh pujian (cum laude) dalam yudisium promosi tersebut. Oleh karena masa studi yang berlebih, maka hal itu tidak berhasil diraihnya. Akan tetapi itu tidak terlalu penting, sebab jauh lebih bermakna ketika disertasi itu diterbitkan sehingga dapat dibaca khalayak lebih luas. Banyak disertasi doktor di Indonesia atau yang dibawa dari luar negeri, tidak diketahui apalagi dibaca publik, karena hanya tersimpan di rak buku pribadi atau perpustakaan saja. Hal itu patut disayangkan karena masyarakat Indonesia masih memerlukan banyak bacaan sejarah bermutu guna mendukung gerakan literasi nasional. 

Pilihan pada tema sejarah maritim dan fokus pada suatu kawasan serta suku bangsa Mandar, yang terabaikan dalam historiografi Indonesia, merupakan kontribusi penting penulis buku ini untuk dicatat. Seperti ingin memenuhi anjuran Nakhoda Sejarah Maritim Indonesia, Adrian B. Lapian (1929—2011), Hamid telah mengisi rumpang studi sejarah maritim di Selat Makassar, dengan fokus pada dua pelabuhan “kembar”, Pambauwang dan Majene. Dengan memilih periode panjang antara 1900—1980, Hamid pun hendak meneruskan model kajian Lapian mengenai kawasan Laut Sulawesi dalam Abad XIX. Jika Lapian berhasil membuat kategorisasi orang laut raja laut bajak laut, Hamid berjaya dalam membuat model pelabuhan “kembar” yang komplementatif  peranannya  dalam jaringan maritim yang bertolak dari Selat Makassar. Hamid juga berhasil membuat empat pola pelayaran yang disumbangkan Mandar dalam peta pemahaman pelayaran Nusantara yakni pelayaran pantai, pelayaran selat, pelayaran lintas selat, dan pelayaran lintas laut lepas. 

Jangkauan jaringan maritim yang digerakkan orang Mandar melalui pelayaran dan perdagangan, seperti digambarkan Hamid, tidak sebatas di Selat Makassar. Dalam masa kejayaan khususnya dalam periode 1900—1940, pelayaran Mandar ke timur hingga  Ambon maka dikenal lah era ini sebagai ’Masa Ambon’. Sedangkan jangkauan pelayaran Mandar ke barat sampai ke Singapura sehingga periode ini masih diingat sebagai ‘Masa Singapura’. Periode 1940—1951 dicatat sebagai masa surut, namun pelaut Mandar masih bertahan. Alhasil pelayaran orang Mandar seperti dipaparkan dalam buku ini, telah merajut pulau-pulau hampir ke seluruh bagian Nusantara: ke barat hingga pantai barat Sumatera di Samudera Hindia, dan Singapura hingga Selat Malaka, ke timur sampai pantai  barat Papua, dan Ternate. Sedangkan ke utara mencapai Tawao ke selatan hingga Flores dan Timor.  

Dalam periode terakhir (1952—1980) pelukisan Hamid mengenai jaringan pelayaran Mandar dari pelabuhan berlangsung hanya dari Pambauwang ke Majene. Dalam masa ini, pemerintah  mengeluarkan peraturan untuk memberantas penyelundupan dan perompakan, karena gangguan keamanan di Selat Makassar, yang dipicu pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pelabuhan Majene dan Pambauwang menjadi rebutan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan DI/TII. Faktor itulah sebagai penanda berakhirnya kejayaan pelayaran Mandar yang menyebabkan runtuhnya pelabuhan Pambauwang. Sejak itu banyak orang Mandar keluar berdiaspora ke pulau-pulau kecil di Kalimantan Selatan dan membangun jaringan di pantai barat Sulawesi.

Capaian tidak kalah penting dari karya Hamid adalah dalam pendekatan struktural yang ia gunakan. Kajian sejarah dengan pendekatan ini tidak selalu menghasilkan kisah yang datar membosankan atau sejarah tanpa manusia, tanpa agensi. Dalam dekade 1950—1960 ketika masa surut justru menampakkan jaringan Majene yang menghasilkan pengusaha sukses seperti Pua Abu dan Haji Sakir. Struktur tidak selalu menjadi kendala tetapi sebagai peluang bagi agensi yang mampu memanfaatkannya. Dualitas struktur seperti dikemukakan Anthony Giddens, coba diuji oleh Hamid sehingga akan terbuka kajian lebih luas dan mendalam dari aspek ini. 

Kini telah bertambah lagi deretan karya sejarah maritim dari tangan sejarawan Indonesia, yang masih dalam hitungan jari. Apalagi dengan telah berpulangnya dua sejarawan maritim dari Universitas Hasanuddin dalam satu-tiga tahun belakangan, tempat Hamid kini mengajar sebagai staf dosen tidak tetap. Dengan penyampaian kalimat yang lugas, buku ini mudah dicerna.   

Selamat membaca

Depok, April 2020.

Sabtu, 13 April 2024

Mengenal La Maddukelleng

La Maddukkelleng Raja Wajo di Perantauan

La Madukelleng menikah dengan Putri Andeng Ajang, Putri Kerajaan pasir. Setelah Raja Pasir Sultan Sepuh Alamsyah wafat. Secara adat, beliau harus digantikan oleh Putri Mahkota Kerajaan Pasir yaitu Andeng Ajang, istri La Madukelleng. Tapi, Panglima perang kerajaan Pasir menolak. Ia lalu memberontak. Melihat keadaan itu, La Madukelleng memerintahkan pasukannya, untuk menyerang pasukan kerajaan Pasir dan menghukum Panglima yang memberontak itu. Pasukan kerajaan pasir kalah namun Panglima kabur ke Kerajaan Kutai. Raja kerajaan Kutai tidak mau menyerahkan pemberontak itu kemudian pasukan La Maddukelleng pun menyerang kerajaan Kutai dan menang. Meskipun telah menguasai kerajaan Kutai, Tapi Lamaddukelleng tetap menghormati Raja Kutai Sultan Muhammad Idris. Karena itu, Sultan Kutai kelak menjadi sahabat La Maddukelleng. Demikianlah La Maddukelleng adalah Raja Kerajaan Wajo, yang juga raja kerajaan Pasir . Dia lah Raja Bugis, yang menjadi Raja diperantauan.

La Maddukelleng
Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

La Maddukelleng (sekitar 1700–1765) merupakan seorang petualang Bugis yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi Wajo pada perempat kedua abad ke-18. Ia kini dianggap sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan awal

Latar belakang

Pada akhir abad ke-17, Wajo sedang dalam kondisi terpuruk akibat kekalahannya (sebagai sekutu Gowa-Tallo) pada aliansi Bone dan VOC dalam Perang Makassar. Penindasan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Bone memaksa orang-orang Wajo untuk meninggalkan negerinya dan pergi merantau ke Makassar, Kalimantan, Nusa Tenggara, kawasan Selat Melaka, serta bagian Nusantara lainnya. Namun, sejak awal abad ke-18, Wajo mulai bangkit secara perlahan dengan memanfaatkan jaringan komunitas rantaunya yang saat itu sudah tersebar ke seluruh Nusantara.

La Maddukelleng sendiri lahir di Tippulue, Belawa sekitar tahun 1700 dari kalangan bangsawan Wajo. Menurut sumber lontaraʼ yang ditelusuri oleh Andi Zainal Abidin (ahli hukum dan sejarawan Sulsel), ayah La Maddukelleng yang bernama La Mataesso atau La Raunglangiʼ merupakan Arung (penguasa) Peneki, sementara ibunya yang bernama We Tenriampaʼ atau We Tenriangka merupakan Arung Singkang yang juga merangkap jabatan sebagai Patola (putera/puteri calon pengganti raja [[Kerajaan Wajo#)).

Sedikit sekali detail mengenai kehidupan awal La Maddukelleng yang tercatat dalam sumber-sumber Wajo. Sebuah riwayat dari Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ (Sejarah Lengkap Wajo) menyebutkan bahwa ia pernah menjadi pembawa puan (tempat sirih) bagi Arung Matoa (pemimpin tertinggi Wajo) La Salewangeng To Tenrirua saat menghadiri upacara pelubangan telinga putri Arumpone (penguasa Bone) La Patauʼ di Cenrana, Bone.[a] Ketika itu La Maddukelleng kemungkinan masih remaja (usia 13–14 menurut perkiraan Abidin), sebab ia baru saja selesai dikhitan.

Dalam acara tersebut juga diadakan perburuan rusa dan pesta sabung ayam. Saat pertandingan sabung ayam sedang berlangsung, seorang dari Bone melemparkan kepala ayam yang sudah mati hingga mengenai kepala Arung Matoa Wajo. La Maddukelleng yang merasa sangat tersinggung dengan kejadian ini sontak menikam pelaku pelemparan, dan memicu perkelahian yang menewaskan 19 orang Bone dan 15 orang Wajo. Akibat kejadian ini, rombongan Wajo pun bergegas meninggalkan Cenrana dan berlayar menyusuri sungai kembali ke Wajo. Sesampainya di Tosora (ibu kota Wajo), datanglah utusan dari Bone yang meminta agar Wajo menyerahkan pelaku penikaman orang-orang Bone di Cenrana untuk diadili, tetapi sang arung matoa melindungi La Maddukelleng dengan berkilah bahwa sang pelaku sudah tidak ada di Wajo. Meski begitu, La Maddukelleng tetap khawatir Bone akan menyerang Wajo hanya demi mencari dirinya, sehingga ia pun memutuskan untuk meninggalkan Wajo.

Petualangan di perantauan

Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ mengisahkan bahwa sebelum La Maddukelleng berangkat merantau, sang arung matoa menanyakan padanya apa saja bekal yang ia bawa. La Maddukelleng menjawab bahwa bekalnya ialah kelemahlembutan lidahnya, ketajaman pedangnya, dan ujung kemaluannya. Ketiga hal ini lazim disebut sebagai tellu cappaʼ ("tiga ujung") dalam falsafah Bugis. Secara harafiah tiga cappa (ujung) itu disebutkan Cappa lila (ujung lidah), Cappa Kawali (ujung badik), dan Cappa Katawang (Ujung kelelakian). Secara kiasan masing-masing berarti kecakapan dalam diplomasi, keberanian dan kekesatriaan, serta jalinan pernikahan. Tiga-tiganya itulah yang dianggap sebagai kekuatan utama seorang perantau (Bugis: Passompe'). Sepanjang kariernya di perantauan, ketiga-tiganya dimanfaatkan oleh La Maddukelleng dengan sangat efektif untuk memenuhi misi dan ambisi politiknya.

Pada masa pemerintahan Arung Matoa La Salewangeng (menjabat 1715–1736), perdagangan Wajo berkembang pesat dengan dukungan dari komunitas rantaunya di seluruh Nusantara..Ketika La Maddukelleng meninggalkan Wajo, ia mengunjungi komunitas-komunitas rantau sampai ke Johor. Di sana saudara tuanya Daeng Matekko terlibat dalam perang Johor antara Sultan Sulaiman (Raja Johor) yang dibantu Opu Lima Bersaudara dengan Raja Kecil dari Siak. Kakaknya dan perantau-perantau Wajo memihak Raja Kecil. Perang dimenangkan oleh Sultan Sulaiman bersama Daeng Parani bersaudara. Tapi ia sampai di Johor di saat perang telah usai. Meski demikian, bersama pasukannya ia membuat keonaran di sekitar Selat Malaka sebagai pelampiasan kemarahannya atas tewasnya kakaknya dalam perang tersebut. Ia digelari Gora'e (penyamun Laut). Namun ia tidak lama di sana. Ia kembali ke Selat Makassar dan menjadi penguasa tidak resmi beberapa pulau kecil dan pesisir. Ia kerap terlibat bentrok dengan Belanda VOC yang sangat dibencinya. Ia membuat Selat Makassar sebagai tempat tidak aman bagi kapal-kapal yang melintas terutama kapal dagang VOC. Belanda kemudian memberinya gelar sebagai Raja Bajak Laut dan terus memburunya.

Melalui kapal-kapal rampasan dan upeti-upeti, ia membangun armada besar yang dibelinya dari orang-orang Inggris sebelum akhirnya menetap di Muara Kandilo Paser, Kalimantan Timur. Di sana, ia membangun diplomasi yang baik dengan Sultan Pasir dan tidak butuh waktu lama untuk menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam perniagaan dan politik setempat, Ia kemudian mampu menikahi putri dari penguasa Paser. Saat Sang Sultan wafat, ia menunjuk puterinya sebagai calon pengganti sultan. Namun, terjadi perselisihan dengan beberapa bangsawan dan perwira Pasir soal pewarisan tahta. Terjadi banyak penolakan. La Maddukelleng mengartikannya sebagai pembangkangan titah sultan. Ia bersama pasukannya dan orang-orang Pasir pendukung Andin Anjang, istrinya, terlibat perang pada pertengahan 1720-an. Ia memenangkan perang secara mutlak. Secara de jure, istrinya menjadi Ratu Pasir namun secara de facto La Maddukelleng lebih banyak yang disebut sebagai Sultan Paser. Pasukan La Maddukelleng kemudian dikirim untuk menyerang Kutai karena penguasanya menolak menyerahkan orang-orang Paser yang melarikan diri ke sana. Tapi mengingat persahabatan yang telah terjalin sebelumnya, ia mengampuni para pelarian ke Kutai. Para pemberontak banyak yang ketakutan melarikan diri ke gunung, sementara yang tersisa di kota ditawan.La Maddukkelleng bersama istrinya memimpin Paser sampai 1738.

Selain membuat persekutuan berdasarkan pernikahan dengan penguasa setempat, La Maddukelleng juga bergiat menyokong komunitas-komunitas rantau Wajo di Kalimantan Timur. La Maddukelleng menjalin komunikasi yang baik dengan Sultan Kutai yang telah memberi pemukiman kepada perantau-perantau Wajo di Samarinda. Jauh sebelum La Maddukkelleng merantau, telah ada pemukim orang-orang Bugis yang mendirikan perkampungan baru di Samarinda di bawah legitimasi kesultanan. Mereka dipimpin seorang panglima Wajo yang merantau usai kekalahan di Perang Makassar bernama La Mohang Daeng Mangkona. Ia merupakan pendiri kampung Bugis Samarinda di tepi wilayah muara Sungai Mahakam yang strategis. Dari Sultan Kutai, ia memperoleh hak monopoli atas barang-barang ekspor dari pedalamanMmkk (seperti emas, kapur barus, damar, rotan, hingga lilin lebah) dan hasil laut seperti cangkang penyu, agar-agar dan teripang. Komunitas Bugis Samarinda juga memperoleh hak monopoli atas impor beras, garam, rempah, kopi, tembakau, opium, tekstil, besi, senjata api, hingga budak. Masyarakat Wajo di Kutai bahkan diperbolehkan memiliki pemerintahan sendiri, dengan seorang pemimpin yang digelari pua ado (Bugis: Puang Ade' _Pemangku Adat) serta sebuah dewan perwakilan yang beranggotakan para nakhoda dan pedagang kaya-raya.

La Maddukelleng saat di Johor mendapat kabar bahwa kakaknya, Daeng Matekko yang awalnya menetap di Matan, Kalimantan Barat, sebelum turut serta dalam konflik kekuasaan antara orang-orang Melayu, komunitas Bugis Riau, serta Raja Kecik dari Minangkabau. Pada perang yang dimenangkan Sultan Sulaiman itu membuat kakaknya, Daeng Matekko, ditewaskan oleh To Passarai (paman Arumpone Batari Toja) di Selangor. Sepanjang hidup La MAddukkelleng mengejar To Passarai dan berhasil merampas harta benda yang dirampasnya dari kakaknya. Sebagian catatan lontara menyebutkan bahwa La Maddukelleng membunuh To Passarai, tetapi ada pula yang menyebut bahwa ia hanya menyergap dan merampas harta To Passarai. Sejarawan Kahtryn Anderson Wellen berpendapat bahwa kolaborasi kedua kakak-beradik ini tidak hanya menunjukkan rekatnya persaudaraan mereka, tetapi juga sentimen permusuhan mereka terhadap Bone, yang tetap bertahan bahkan dalam perantauan sekalipun.

Dalam pertempuran-pertempurannya, La Maddukelleng dibantu oleh seorang kapitan laut bernama To Assa. Dia ini adalah panglima paling diandalkannya selain Cambang Balolo, Puanna Dekke, Puanna Pabbola dan lainnya. La Banna adalah tulang punggung La Maddukkelleng, ia pula yang memimpin pasukan La Maddukelleng dalam penyerangan ke Paser. Ia juga sempat menyerang Banjarmasin pada tahun 1730, walaupun armadanya berhasil dipukul mundur. Meski sempat berpisah dengannya, namun pada awal 1735, La Maddukelleng dan La Banna To Assa bergabung kembali untuk panggilan perang dari Wajo untuk membebaskan Wajo dari Bone dan Belanda. Kehadiran armada La Maddukelleng di pesisir Sulawesi meresahkan Belanda sehingga mereka mencoba menghadangnya di laut, tetapi La Maddukelleng berhasil lolos. Bahkan ia banyak memenangkan perang dengan Belanda.

Kembali ke Wajo

Melemahnya hegemoni Bone di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-18 membuat Wajo mampu memperluas jaringan perdagangannya tanpa halangan yang berarti. Hubungan antara komunitas rantau Wajo dan tanah airnya pun tumbuh semakin erat, dan mencapai puncaknya sewaktu La Maddukelleng pulang kembali ke Wajo pada tahun 1730-an. Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ secara khusus menyebut bahwa Arung Matoa La Salewangeng mengirimkan utusan ke Paser pada 1735 untuk meminta La Maddukelleng pulang, karena Wajo sudah siap baik secara finansial maupun militer bila mesti menghadapi Bone. Walaupun begitu, beberapa riwayat menyebut bahwa La Maddukelleng pulang atas keinginan sendiri.

La Maddukelleng berangkat menuju Sulawesi beserta sejumlah besar pasukan dari Paser. Pada Desember 1735, ia tiba di perairan Majene disertai armada 40 kapal dan terlibat konflik dengan Arung Lipukasiʼ (dari Tanete) serta Maraʼdia Balanipa. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa pasukan La Maddukelleng pimpinan To Assa berhasil dipukul mundur. Ia kemudian merampas perahu milik seorang dari Mangngarancang (Tanete) dan berlayar menuju Binuang, tetapi pada Februari 1736 ia disergap dan 12 pengikutnya terbunuh, sehingga ia mundur lagi ke selatan menuju Puteanging. Riwayat lain menyebut bahwa La Maddukelleng memenangkan pertempuran di Mandar setelah pengepungan selama 75 hari. Sebagai pembalasan atas penyerangan terhadap To Assa, La Maddukelleng pun merampas harta orang-orang Binuang serta menyerang pemukiman-pemukiman di sana.

Setelah itu, La Maddukelleng menuju Sabutung dan menyerang dua pulau di sekitar Makassar pada bulan Maret. Kemudian ia meneruskan perjalanan hingga tiba di Bone. Pada awalnya, ia hendak menuju pusat Wajo melalui muara Sungai Cenrana (yang dikuasai oleh Bone), tetapi karena armadanya tidak diperbolehkan masuk, ia melanjutkan perjalanan ke utara menuju Doping di pesisir timur Wajo. Di sana ia menunggu selama 40 hari, sebelum diperbolehkan turun dari kapal bersama ratusan orang pasukannya pada Mei 1736. La Maddukelleng kemudian berangkat menuju Sengkang, dan mendapatkan banyak pengikut baru dalam perjalanannya, sehingga jumlah pasukannya mencapai lebih 1000 orang ketika sampai di Sengkang. Persekutuan Tellumpoccoe kemudian mengadakan sidang di Tosora untuk membahas tuduhan-tuduhan kejahatan yang diajukan oleh Bone terhadap La Maddukelleng, tetapi ia kemudian dibebaskan dari segala tuduhan setelah menyampaikan pembelaannya. Menurut Wellen, terbebasnya La Maddukelleng dari tuduhan kemungkinan juga dipengaruhi oleh kekuatan yang ia miliki saat itu.

Masa kepemimpinan di Wajo

Pembebasan Wajo

Atas permintaan Arung Matoa La Salewangeng, La Maddukelleng berangkat meninggalkan Sengkang. Ia pun menuju Peneki dan dilantik sebagai arung di sana. Ia kemudian meminta agar orang-orang Bone meninggalkan wilayahnya, sehingga memicu konflik terbuka. Pasukan Bone pun mengepung Peneki untuk menangkap La Maddukelleng. Berita pengepungan ini sampai di Gowa pada tanggal 5 Juli 1736. Konflik semakin meluas ketika Bone tidak hanya menyerang wilayah Peneki saja, tetapi juga membakar pemukiman di wilayah Wajo yang lain. Aksi ini menyulut kemarahan orang-orang Wajo, sehingga banyak di antara mereka yang turut membantu La Maddukelleng melawan pasukan Bone.

Pada saat yang sama, Belanda yang merupakan sekutu utama Bone mesti menghadapi pemberontakan di wilayah Marusu yang dipimpin oleh Karaeng Bontolangkasa (sekutu dekat La Maddukelleng) dan Arung Kaju. Perhatian Belanda pun terpecah, meski mereka tetap membantu Bone dengan mengirimkan persenjataan serta sekelompok kecil pasukan di bawah pimpinan Kapten Steinmetz.

Penilaian dan peninggalan sejarah

Sebagai penghargaan atas perlawanan La Maddukelleng terhadap Belanda, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional baginya pada tahun 1998. Meski begitu, menurut Wellen, gambaran La Maddukelleng sebagai tokoh "purwa-nasionalis" yang "berjuang melawan Belanda tanpa kenal lelah dan pamrih" tidak sepenuhnya didukung oleh sumber-sumber sejarah semasa. Naskah Bugis tentang pertemuan demi membahas kejahatan-kejahatan La Maddukelleng, misalnya, menggambarkan dirinya sebagai "penghasut perang" yang "tidak mengindahkan persatuan Tellumpocco". Bahkan, ia mungkin saja telah membunuh lebih banyak orang sedaerahnya ketimbang orang Belanda. Tapi fakta lain menyebutkan La Maddukkelleng telah diberi gelar oleh kerajaan Wajo sebagai Petta Pammaradekaingngi Wajo cukup gambaran betapa ia telah berhasil mengalahkan Bone dan Belanda yang saat itu menguasai Sulawesi Selatan.

Terlepas dari itu, kenyataan bahwa kisah La Maddukelleng dapat ditemukan dalam sejumlah besar catatan sejarah Bugis menunjukkan bahwa ia merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam imaji orang-orang dari daerahnya.[45] Bagi orang-orang Wajo, La Maddukelleng berjasa dalam memerdekakan negeri mereka dari kekangan Bone dan Belanda. Tradisi Wajo amat menjunjung tinggi nilai kemerdekaan, termasuk di antaranya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan bepergian, dan kemerdekaan dari hukuman yang tidak adil; hak-hak yang tidak dapat terpenuhi dengan sempurna setelah kekalahan Wajo dalam Perang Makassar. Karena itu, orang-orang Wajo memandang "pembebasan" tanah air mereka dari dominasi Bone yang diprakarsai oleh La Maddukelleng sebagai penegakan kembali atas hak-hak kemerdekaan ini. Namun, begitu pula sebaliknya, ketika La Maddukelleng mulai bersikap arogan dengan tidak mengindahkan pendapat rakyatnya, ia dianggap sebagai ancaman bagi kemerdekaan orang-orang Wajo.

Di Kalimantan Timur, tradisi sejarah setempat menekankan persekutuan melalui ikatan kekerabatan antara La Maddukelleng dan bangsawan Paser alih-alih mengingat konflik yang melibatkan kedua pihak. Ikatan perkawinan sebagaimana bekal falsafah tiga ujung yang dipegang oleh La Maddukkelleng ternhyata efektif merekatkan sejarah tiga kerajaan, Wajo, Kutai dan Paser. Dari pernikahannya dengan Andin Anjang Ratu Paser, ia memiliki puteri yang kemudian dinikahkan dengan Sultan Kutai Aji Muhammad Idris. Tradisi lokal dari pernikahan-pernikahan ini menempatkan La Maddukelleng sebagai leluhur bagi para sultan Kutai sejak Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut menjadi Sultan Kutai. Ia adalah cucu La Maddukkelleng, putera Sultan Aji Muhammad Idris dan dibesarkan di Wajo. Walaupun sebagian detail dari tradisi-tradisi ini tidak bersesuaian dengan beberapa Belanda, namun fakta-fakta bahwa menantunya, Aji Muhammad Idris, Sultan Kutai yang ikut berperang membantu mertuanya dan kemudian gugur di medan laga, dan kemudian dikuburkan di Wajo memberi penegas hubungan yang sangat kental antara Wajo dan Kutai waktu itu. Tradisi-tradisi lain juga menggambarkan besarnya pengaruh perantau Wajo seperti La Maddukelleng pada masyarakat di kawasan tersebut. (Nusantara Jaya) 

Jumat, 12 April 2024

TITTYTAINMENT

Tittytainment
Oleh: Hamdan eSA

Tidak jauh dari tepi jalan yang saya lalui di suatu hari saat di kampung, beberapa ekor anak anjing sedang menetek ―atau mungkin tepatnya seekor induk anjing sedang menyusui beberapa anaknya. Dengan bunyi khas anak-anak anjing serta ketenangan sang induk dalam mengawasi keadaan, dapat tertangkap betapa anak-anak itu memiliki rasa gembira atas apa yang mereka dapatkan. 

Sangat sepele, tetapi sentak mengantarkan saya pada sebuah istilah “_tittytainment_” yang pernah diungkapkan oleh Haudegen Zbigniew Brzezinski, seorang Polandia yang selama empat tahun sebagai Penasehat Keamanan Dalam Negeri presiden AS Jimmy Carter.

_Tittytainment_, menurut Brzezinski merupakan kombinasi dari dua kata yakni; _tits_ dan _entertainment_. Tits merupakan istilah dalam bahasa slang (ucapan popular) di Amerika yang berarti payudara.  Namun bagi Brzezinski, tits tidak diasosiasikan dengan seks, melainkan lebih dikaitkan dengan susu yang teralir dari payudara wanita saat menyusui. Istilah ini diungkapkan dalam sebuah pertemuan para dedengkot manejer pengendali ekonomi dunia pada September 1995 di sebuah hotel mewah “The Fairmont” San Francisco, yang diinisiasi oleh Michael Gorbachev dan dihadiri oleh George Bush, Margareth Tatcher, Ted Turner (CNN), John Gage (Sun Microsystem). 

Saat itu sempat mendiskusikan sebuah tema; “masa depan pekerjaan”. Dalam abad berikut nanti, hanya 20% penduduk dunia saja sudah mencukupi untuk memepertahankan perekonomian dunia. Hanya seperlima dari seluruh pencari kerja sudah cukup untuk memproduksi seluruh barang perdagangan dan cukup memberi pelayanan jasa bernilai tinggi yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat dunia. Selebihnya tidak dibutuhkan lagi. Setiap orang akan memikirkan karirnya sendiri. _To have lunch or be lunch_; memakan atau menjadi santapan.

Tittytainment merupakan adonan sempurna antara riuh-rendah dan dahsyatnya daya pesona _entertainment_ serta sandang pangan yang oleh para pengendali dunia dapat diatur sedemikian rupa agar selalu tercukupi, sehingga 80% sisa seluruh penduduk dunia yang frustasi dapat terkontrol perasaannya untuk tidak “meletup-ledak” di mana-mana. Disinilah peran dari seperlima pencaker itu. 

Tekanan persaingan global tidak mungkin dan tidak masuk akal untuk mengharapkan komitmen sosial dari bisnis-bisnis perseorangan. Harus ada seorang atau pihak lain yang mengurusi masalah-masalah sosial terutama soal pengangguran, demikian kata Hans-Peter Martin dan Harald Schumann. Jika masyarakat membutuhkan suatu kehidupan yang lebih utuh dan lebih berarti, setidaknya dapat diatasi oleh yayasan-yayasan atau lembaga sosial dengan berbagai program berikut pasukan “sukarela”.  Lalu dibiayai oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mendorong sukarelawan itu memberi pelayanan masyarakat di berbagai bidang. 

Misalnya dengan membuat organisasi-organisasi yang dapat menstimulasi munculnya solidaritas antar tetangga, olahraga, gaya hidup, politik dan banyak yang lain. Kegiatan-kegiatan ini memakan biaya relatif sangat murah tetapi dapat mendorong berjuta orang merasa diri dan hidupnya punya “arti”, baik dalam masyarakat sekitar dan juga masyarakat global. Seperti itulah kira-kira gambaran tittytainment yang ingin di kemukakan Brzezinski. Semacam mekanisme nina-bobo.

Perut dan hiburan menjadi tekanan penting dalam tittytainment. Secara sederhana seolah-olah Brzezinski ingin mengatakan tidak begitu sulit untuk mengendalikan sekelompok orang, masyarakat atau bangsa. Cukup mengisi perutnya tidak perlu terlalu kenyang serta kubur duka-deritanya dengan hiburan-hiburan hebat. 

Mereka akan menikmati hidupnya cukup dengan apa yang mereka dapatkan dan mendapatkan dirinya sebagai bagian yang sangat berarti bagi dunia. Tittytainment dengan demikian adalah sebuah strategi merebut dan mempertahankan kekuasaan, yang pada saat itu Brzezinski menunjuk pada suatu kekuasaan global yang berdasar pada kekuasaan ekonomi.

Tittytainment sebagai sebuah strategi, ternyata sebenarnya sudah dan sedang berkembang di kelas lokal dan nasional beberapa bidang kehidupan kita, terutama misalnya dalam dunia perpolitikan. Perut dan hiburan menjadi hal paling penting dan jitu untuk memenangkan sebuah pertarungan politik. Di berbagai tempat, uang atau sembako masih menjadi favorit untuk meraih kalkulasi terbesar penghitungan suara. 

Dengan duit lima puluh ribu, atau gula sekilo, atau selembar sarung, dan lain-lain kreasi, seisi rumah sudah merasa sangat berarti karena merasa telah menjadi bagian penting dari perjuangan besar seorang kandidat, bahkan ada yang rela mati. Toh perut memiliki ruang amat terbatas untuk menampung seluruh kebutuhan materil makanan, tidak bisa banyak, hanya butuh dijaga agar tidak kosong. Jika belum sempat, cukup dengan memberi janji-janji. Namanya janji pasti manis semanis titty, apalagi disertakan selembar isi dompet sebagai pelengkap penghibur hati.

Kampanye politik hampir tidak pernah lepas dari kehadiran bintang-bintang hiburan (entertain) dari kelas lokal hingga nasional, bahkan hingga ke goyang erotis yang sama sekali tidak punya hubungan dengan visi kebangsaan dan kenegaraan. Dapat dibayangkan jika raja-raja pemegang kendali kanal entertainment juga ikut ambil bagian dalam kancah perpolitikan baik langsung atau tidak. Rasanya tiada kesulitan menginjeksi ruang bawah sadar dengan tittytainment. 

Paling sederhana di kampung yang paling pelosok pula, kampanye keliling dilakukan dengan mengikutkan mobil besar yang di desain menjadi panggung hiburan electon nonstop. Masyarkat tak pernah tahu bahkan dari kandidat dukungannya sekali pun soal apa gagasan, konsep, komitmen, implementasi, pengawasan, dan lain sebagainya,.

Pertanyaannya, dengan kondisi negara kita yang sedang menikmati tittytainment global, dan di saat yang sama para elitnya juga melakukan tittytainment terhadap masyarakatnya sendiri, lalu bagaimana kita bisa berbicara tentang keberdayaan masyarakat kita di tengah masyarakat global? 

Kita mungkin akan terus menjadi masyarakat penetek, sambil dielus-elus bobokkan dengan hiburan-hiburan dunia. Paling tidak, dengan menggunakan baju kaos Chelsea, Metallica, nonton bareng live di media, nonton dan ikut perkembangan info miss univers, dan lain sebagainya, seorang telah merasa menjadi bagian berarti dari dunia.

Pemilihan legislatif pusat hingga daerah serta pemilihan eksekutif sebentar lagi akan berlangsung. Apakah kita ingin menjadi masyarakat penetek? Semua tergantung partai politik. Semoga parpol tidak mengusung politikus tittytainment. Menetek punya waktu tertentu, dan sang induk sangat paham kapan saatnya.

Wallahu a’lam.

Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)


Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)
(Capaian struktur musik di Mandar)
Sahabuddin Mahganna

Mendengar dan memperdengarkan bunyi, bermaksud menyampaikan sekaligus menerima kalimat, tentu saja bermanfaat untuk dipahami menjadi medium pemberi tanda. Meski hanya bunyi, Pelloana atau Bambana, jelas menyatakan peristiwa secara tegas, sehingga kita dapat memahami kondisi atau menerima kabar lewat transfer media tersebut. Dan instrumen terkhusus untuk musik, tidak di luarnya, sebab kadang diadopsi dalam penyusunan bunyi dan melodi. 

Penciptaan dan penyampaiannya berupaya memenuhi unsur pelloa, bamba, ololioliolio, loa, massa'du dan matte' dengan harapan bukan hanya pelaku yang menginginkan keindahan, melainkan untuk pendengar (mengenai sasaran). 

Bunyi-bunyian di Mandar sesekali melahirkan ololio atau liolio yakni sebuah anggapan kalimat dari bunyi, dengan kata lain membentuk melodi berulang-ulang. Untuk pernyataan ini, mereka masyarakat Mandar menyebutkan predikat itu karena hanya mengenal audio tanpa teknik. Dalam media instrumen, nada untuk melodi sekalipun untuk ritmis pada prinsipnya adalah rangkaian huruf yang tersusun, dan terbentuknya  Ololioliolio, seperti seketika itu dapat saja dinyatakan kalimat. 

Bunyi dalam melodi di Mandar terkoneksi, baik itu hanya sekadar bunyi, nyanyian atau menggunakan instrumen. Kalimat yang tersusun menjadi indah akibat pemilihan nada-nada, tidak asal menyampaikan, yang barang kali mengindikasi bahwa kalimat dapat diterima baik karena sangat bergantung pada tata letak nada hingga melahirkan Intonasi-intonasi yang memudahkan kita untuk mengerti apa maksud dari bunyi tersebut, begitu pula terjadi pada bunyi dipahami menjadi kalimat perintah. 

Biasanya, nada di Mandar kadang didapatkan dari kabar dengan istilah “membamba memangi“ dengan kata lain bersuara sebelum tercipta, atau terpatri dalam jiwa sebagai informasi awal, sehingga bunyi dan melodi bagi mereka tidak hanya menjadi pendamping, melainkan bunyi yang berharga bagi para pelaku dan pecintanya.

Khusus untuk instrumen, ketika dimainkan, tidak jarang para pelaku menandai estetika bunyi dengan meraba atau sekadar memberi pernyataan "pecoai pattappunna" (perjelas kalimatnya). Jika permainan tidak pas atau tidak diterima baik bagi yang mendengarkan, maka tentu berhubungan dengan ketidakjelasan kalimat tersebut, itu berarti terdapat penempatan huruf-huruf yang keliru, dengan kata lain kesempurnaan kalimat dalam musik tergantung pada posisi nada (Malliolio). Sementara sangat penting memperhatikan kalimat dalam bunyi dan melodi yakni pertanyaan dan jawaban.

Kendati sangat sederhana, dalam permainan instrumen musik Mandar, seperti Kacaping, Paluppung, Keke, Calong, Tulali dll. Tidak pernah ditemukan nada yang datar, namun selalu melekat nada lain sebagai bumbu (bali') sebagai analisis jangkauan nada bertanya dan menjawab. Bukan hanya bunyi prioritas, namun perlu menelaah poin-poin yang bisa saja mejadi inti. Dengan pertimbangan "macoa pattapu" maka itu berarti instrumen sesungguhnya sedang menyampaikan kalimat. 

Beberapa hal yang harus kita perdalam. Sebuah benda (instrumen musik) yang berbunyi tidak lebih dari sekadar bunyi, bunyi yang sampai ke telinga berarti sedang menyampaikan sesuatu, sebab dapat dipahami bahwa bunyi sukses menyampaikan diri dan statusnya. Orang Mandar menyebutnya pelloa. Tetapi disini akan ada pertanyaan bilamana bunyi itu masih belum jelas dari mana sumbernya. Dan oleh karenanya, suara (bamba) diperlukan untuk memastikan keberadaan dari jenisnya. 

Musisi Mandar awal lebih sering menekankan, sama halnya pada permainan instrumen yang tercantum dalam pernyataan sebelum ini, bahwa keistimewaan alat berada pada kemampuan pelakunya dalam menyusun nada atau huruf-huruf, hingga tekanan dan tekniknya mengupayakan instrumen harus bernyanyi "papa'elongi iting kacapingo atau papalliolioi" (ololioliolio). Ini menandai bahwa tersusunnya ololioliolio, kalimat lagu akan menjadi titik perhatian pendengar, seolah sedang menyimak kata dan kalimat yang disampaikan (loa). Itulah sebabnya pelloa diambil dalam kata bunyi atau berbunyi, sebab dia sesungguhnya dalam keadaaan menyampaikan sesuatu meski hanya satu huruf. 

Ketika kalimat dalam kalimat lagu mengalun, maka pemain bahkan pendengar akan menunggu momentum kesyahduan atau rasa nyaman, berujung pada proses dalam menemukan puncak dari kenyamanan itu. (Massa'du). Namun, sesungguhnya tidak jarang tiba-tiba ada ruang dimana kita bisa berada dalam keadaaan kosong, yang memutuskan untuk melupakan semua yang didengar, sehingga dari sini terkadang hubungan antara pelaku nada dan pendengar pada produksi yang ditawarkan seolah tidak lagi menyatu, atau pendengar hingga pelaku akan memahami dengan rasa masing-masing yakni mengenai sasaran (matte'). Dalam mencapai Massa'du belum tentu dapat berada dalam situasi tersebut di atas,  Jika kemungkinannya kita hanya fokus menikmati kreatifnya. 

Jadi, benda atau sesuatu "instrumen Musik" yang berbunyi (pelloa), bersuara berdasarkan jenisnya (membamba), terwujudnya nada membentuk melodi sebagai bagian dari huruf-huruf yang tersusun (ololioliolio), melahirkan keindahan karena kejelasan kalimat (loa), hingga sampai serta nyaman pada pendengaran (massa'du), dan mengenai sasaran (matte').

Selasa, 09 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (29)


Sudah Benarkah Kembali Seperti Bayi?

Di suatu majelis Nasaraddin Hoja bergumam: "Kebenaran adalah sesuatu yang berharga bukan hanya secara spritual tetapi juga memiliki harga material." 

Mendengar pernyataan Nasaruddin Hoja, seseorang pun berdiri dan bertanya: "Wahai tuan, mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran,?"

Kata Nasaruddin Hoja: "Ya, kita harus membayar sebab kadang-kadang kebenaran itu harganya mahal."

Orang itu kembali bertanya: "Mengapa kita harus membayar dan kebenaran itu harganya mahal?"

Nasaruddin Hoja menjawab: "Kalau engaķau perhatikan, harga sesuatu itu dipengaruhi oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu makin mahal lah ia. Barang yang dibuat ribuan tahun lampau, kini mungkin sudah sedikit adanya dan barang itu akan menjadi antik dan mahal harganya."

Dari dialog diatas, jika dihubungkan dengan bulan ramadhan, maka puasa bisa dimaknai sebagai training untuk membiasakan melakukan kebenaran, melatih diri melepas kemelekatan perbuatan  buruk.

Dengan puasa kita membiasakan melakukan kebenaran karena mingkin selama ini kita sering kali membenarkan kebiasaan. Kebiasaan melayani hasrat nafsu, kebiasaan memuaskan kecenderungan semua panca indera kita yang lebih kepada hal-hal negatif.

Hari ini, kebenaran mungkin sulit karena yang sering muncul kepermukaan adalah sesuatu yang seakan-akan benar, merasa benar, kebiasaan menyalahkan orang lain, kebiasaan menuduh orang lain sesat dan kitalah yang paling benar.

Kelangkaan kebenaran disebabkan orang-orang enggang mencari kebenaran. Cukup percaya pada satu kebenaran maka kemungkinan kebenaran yang berseberangan dengan paham kita pun dianggap salah. 

Kelangkaan kebenaran dan mahal harganya karena malas mencari informasi kelanjutan serta klarifikasi dari suatu peristiwa. 

Kelangkaan kebebanaran karena tidak mau mengkaji apakah informasi itu mengandung kebenaran atau tidak tetapi sudah menyebarkannya begitu saja.

Puasa tidak hanya mengajarkan menahan makan dan haus tetapi juga mengajarkan untuk tidak cepat tanggap terhadap berita atau suatu informasi. Puasa mendidik kita selama satu bulan pada dasarnya melatih kita untuk membiasakan kebenaran karena selama ini kita sudah sering membenarkan kebiasaan.

Salah satu tokoh spritual muslim. Abu Hasan Asy-Syadzili berkata: "kita hidup di zaman, dimana kemaksiatan itu dipertontonkan, oleh karenanya terladang ketaatan itu perlu dipertontonkan di tengah zaman maksiat."

Kebenaran apa yang telah kita peroleh selama berpuasa satu bulan penuh, kebiasaan apa yang telah kita dapatkan selama melatih diri untuk tidak makan dan tidak minum. Jika selama satu bulan penuh hanya menahan makam dan minum tetapi tidak menahan perkara-perkara ssperti menyebarluaskan aib-aib, kesalahan-kesalahan orang lain. Tentunya kita masih berputar-putar pada pembenaran kebiasaan bukan membiasakan kebenaran.

Hingga sampai pada finish Idul Fitri yang diartikan sebagai kembali berbuka atau kembali kepada fitrah, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Sudah benarkah kita seperti bayi? Seperti bayilah mereka yang telah tertatih dan terlatih membiasakan kebenaran selama satu bulan penuh sampai setelah idul fitri dan kembali bertemu bulan puasa berikutnya. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 29

اَللَّهُمَّ غَشِّنِيْ فِيْهِ بِالرَّحْمَةِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ التَّوْفِيْقَ وَ الْعِصْمَةَ وَ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنْ غَيَاهِبِ التُّهَمَةِ يَا رَحِيْمًا بِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, lingkupilah aku di bulan ini dengan rahmat-Mu, anugrahilah aku taufik dan penjagaan-Mu. Sucikanlah hatiku dari benih-benih fitnah/kebencian, Wahai yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.

Senin, 08 April 2024

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)

"BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)
(Bamba, Pelloa, Loa adalah Bunyi)
Oleh: Sahabuddin Mahganna

"Pelloa juga bunyi" sering kali diucapkan dalam bahasa Mandar, menunjukkan bahwa bunyi adalah hal yang umum dan tidak tabu bagi semua umat manusia di muka bumi ini. Bahasa orang Mandar kadang-kadang digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kebaikan melalui bunyi murni. Namun, tidak semua kalimat dalam bahasa Mandar dianggap suci atau murni. Terkadang, bunyi dalam bahasa Mandar merujuk pada bunyi yang murni, seperti ketika kita berteriak, bersin, batuk, atau menangis. Bunyi semacam ini dikategorikan sebagai bunyi murni. Abdul Chaer (2003) dalam karya Busrah dan Bustan. Kemungkinan dapat dinilai dari alam sebabnya, bukan sebagai hasil tindakan sengaja, melainkan muncul secara alami.

Dalam "Pelloa", merujuk pada benda atau sesuatu yang mengeluarkan bunyi, tanpa kata secara eksplisit dari manusia. Jadi, "pelloa" dan "loa" sepertinya memiliki makna yang berbeda, yang sebenarnya dipisahkan. "Loa" mungkin merujuk pada ucapan atau kalimat yang menyertai bunyi, sedangkan "pelloa" mengacu pada benda atau bunyi tanpa kata dari manusia. Ketika ditambahkan awalan "pe-" untuk menghubungkannya dalam fonem Mandar, "pelloa" secara konseptual memperjelas bahwa itu adalah bunyi yang dihasilkan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa orang Mandar mungkin memahami bahwa sesuatu yang menghasilkan bunyi juga mungkin menyertakan ucapan atau kalimat yang tidak selalu dapat dipahami secara langsung oleh manusia, tetapi hanya bisa dipahami melalui perasaan. Untuk menandai bunyi, ada juga istilah "Bamba" dan "Matte'".

"Bamba" digunakan untuk menandai suara atau bunyi. Dalam beberapa kamus, "bamba" dikategorikan sebagai suara besar, sementara yang lain hanya menyebutnya sebagai suara tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini mungkin karena suara dipahami sebagai warna vokal atau jenisnya, di mana "bamba" berdiri sendiri sebagai predikat suara yang sangat dipengaruhi oleh bunyi. Sehingga untuk memperjelas penggunaan "bamba", kadang-kadang diperlukan penambahan kata-kata tertentu seperti "Napowambai" (terdengar seperti itu), "Dipowambai" (kita bersuara dan berbunyi), "Membamba" (berbicara atau bersuara), dan "pebamba" (bersuara). Namun, penafsiran ini mungkin menjadi subjektif dan abstrak tergantung pada konteksnya.

"Matte'" adalah kata yang sulit dijelaskan dan sering kali dipahami sebagai mengenai sasaran atau kosong. Biasanya, "Matte'" terjadi setelah adanya benturan antara benda, ketika bunyi yang dihasilkan hanya satu atau tidak ada lagi. Dalam kamus Mandar, "Matte'" digambarkan sebagai tiruan bunyi, seperti ketika terkena lemparan.

Dengan demikian, "loa" yang terkait dengan "pelloa" biasanya memiliki kata atau kalimat yang jelas, sedangkan "bamba" mungkin tidak memiliki teks yang terukur tetapi tetap memiliki bunyi yang jelas. "Pelloa" memperjelas bahwa dalam "loa" ada bunyi yang dapat didengar, begitu juga dengan "bamba" yang mudah dipahami jika ada bunyi.

(Bersambung)

PROF. QURAISH SHIHAB DI MATA PROF. WAJIDI SAYADI

GURU DAN PANUTAN UMAT DAN BANGSA
PENUH RENDAH HATI, MODERAT DAN IKNLUSIF

Oleh: Wajidi Sayadi

Hari Jumat tanggal 16 Pebruari 2024 adalah momen spesal bagi Guru Besar kita, Guru dan Panutan Umat dan Bangsa, Bapak Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA. Genap berusia 80 tahun. 

Beliau lahir di Rappang Sulawesi Selatan
16 Pebruari 1944. 

Kami mengucapkan Selamat dengan iringan doa semoga panjang umur selalu dalam keadaan sehat wal afiyat bersama sekeluarga. Tuntunan, pencerahan dan panutannya bagi umat dan bangsa ini sangat diperlukan. 

Suatu saat ketika mengikuti kuliah Tafsir Al-Qur'an, Beliau menjelaskan tafsir suatu ayat dalam al-Qur'an dengan beberapa penafsiran para ulama yang berbeda-beda dengan argumentasi setiap pandangan ulama di setiap generasi masing-masing. 
Ketika ditanya, mana penafsiran yang lebih bagus. 
Beliau menjawab, semua penafsiran bagus selama memenuhi kaedah tafsir. 
Boleh jadi, semuanya mempunyai kelebihan sekaligus mempunyai kekurangan masing-masing. 
Saya tidak punya kapasitas untuk menilai dan menghukumi mereka, apalagi sampai menyalahkan. 

Kata Beliau: “Hormati semua pendapat walaupun Anda tidak sependapat."

Pengalaman saya belajar kepada Beliau, sangat berkesan didikannya adalah ke-Tawadhu-an, rendah hati, tidak merasa sangat pintar, sangat mengerti segalanya. Tutur kata dan bahasanya sederhana mudah dicerna dan dipahami. Bahkan terkadang, Beliau tanya, apakah sudah paham atau belum? 
Apabila ada yang menjawab, belum, Beliau mengulanginya dengan mengambil contoh dan ibrah lainnya yang dianggap lebih mudah.

Hal ini juga tampak dalam sikap dan perilaku Beliau sangat ramah, murah senyum, mudah bergaul dengan siapa pun termasuk dengan murid dan mahasiswanya sendiri dilayani tanpa membedakan dengan yang lainnya. 
Pribadi mulia sangat senang, menyenangkan, dan mengesankan 

Sekitar tahun 2005 ketika sedang penelitian Disertasi, di Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ) Yayasan Lentera Hati di Jakarta milik Prof. M. Quraish Shihab, saya menemukan Tafsir Al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma karya Syekh Muhammad `Abduh. Judul tafsir ini ditulis tangan, oleh pemiliknya yaitu as-Sayyid `Abd ar-Rahmân ibn `Ali ibn Syihâb ad-Dîn al-`Alawî al-Husainî. 
Pemilik kitab tafsir ini adalah ayah Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 
Berdasar pada catatan ini diketahui bahwa sebenarnya Beliau adalah Sayyid Muhammad Quraish Shihab, hanya saja Beliau tidak mau menuliskan nama lengpaknya seperti ini. 

Boleh jadi ini salah bukti rasa ke-tawadhu-an Beliau. 

Salam Hormat, Penuh Ta’zhim untuk Beliau 
Semoga Panjang Umur, selalu dalam sehat wal afiyat sekeluarga terus produktif dengan segudang karyanya untuk umat dan bangsa.

Pontianak, Jumat, 16 Pebruari 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (29)


Sudah Benarkah Kembali Seperti Bayi?

Di suatu majelis Nasaraddin Hoja bergumam: "Kebenaran adalah sesuatu yang berharga bukan hanya secara spritual tetapi juga memiliki harga material." 

Mendengar pernyataan Nasaruddin Hoja, seseorang pun berdiri dan bertanya: "Wahai tuan, mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran,?"

Kata Nasaruddin Hoja: "Ya, kita harus membayar sebab kadang-kadang kebenaran itu harganya mahal."

Orang itu kembali bertanya: "Mengapa kita harus membayar dan kebenaran itu harganya mahal?"

Nasaruddin Hoja menjawab: "Kalau engaķau perhatikan, harga sesuatu itu dipengaruhi oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu makin mahal lah ia. Barang yang dibuat ribuan tahun lampau, kini mungkin sudah sedikit adanya dan barang itu akan menjadi antik dan mahal harganya."

Dari dialog diatas, jika dihubungkan dengan bulan ramadhan, maka puasa bisa dimaknai sebagai training untuk membiasakan melakukan kebenaran, melatih diri melepas kemelekatan perbuatan  buruk.

Dengan puasa kita membiasakan melakukan kebenaran karena mingkin selama ini kita sering kali membenarkan kebiasaan. Kebiasaan melayani hasrat nafsu, kebiasaan memuaskan kecenderungan semua panca indera kita yang lebih kepada hal-hal negatif.

Hari ini, kebenaran mungkin sulit karena yang sering muncul kepermukaan adalah sesuatu yang seakan-akan benar, merasa benar, kebiasaan menyalahkan orang lain, kebiasaan menuduh orang lain sesat dan kitalah yang paling benar.

Kelangkaan kebenaran disebabkan orang-orang enggang mencari kebenaran. Cukup percaya pada satu kebenaran maka kemungkinan kebenaran yang berseberangan dengan paham kita pun dianggap salah. 

Kelangkaan kebenaran dan mahal harganya karena malas mencari informasi kelanjutan serta klarifikasi dari suatu peristiwa. 

Kelangkaan kebebanaran karena tidak mau mengkaji apakah informasi itu mengandung kebenaran atau tidak tetapi sudah menyebarkannya begitu saja.

Puasa tidak hanya mengajarkan menahan makan dan haus tetapi juga mengajarkan untuk tidak cepat tanggap terhadap berita atau suatu informasi. Puasa mendidik kita selama satu bulan pada dasarnya melatih kita untuk membiasakan kebenaran karena selama ini kita sudah sering membenarkan kebiasaan.

Salah satu tokoh spritual muslim. Abu Hasan Asy-Syadzili berkata: "kita hidup di zaman, dimana kemaksiatan itu dipertontonkan, oleh karenanya terladang ketaatan itu perlu dipertontonkan di tengah zaman maksiat."

Kebenaran apa yang telah kita peroleh selama berpuasa satu bulan penuh, kebiasaan apa yang telah kita dapatkan selama melatih diri untuk tidak makan dan tidak minum. Jika selama satu bulan penuh hanya menahan makam dan minum tetapi tidak menahan perkara-perkara ssperti menyebarluaskan aib-aib, kesalahan-kesalahan orang lain. Tentunya kita masih berputar-putar pada pembenaran kebiasaan bukan membiasakan kebenaran.

Hingga sampai pada finish Idul Fitri yang diartikan sebagai kembali berbuka atau kembali kepada fitrah, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Sudah benarkah kita seperti bayi? Seperti bayilah mereka yang telah tertatih dan terlatih membiasakan kebenaran selama satu bulan penuh sampai setelah idul fitri dan kembali bertemu bulan puasa berikutnya. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 29

اَللَّهُمَّ غَشِّنِيْ فِيْهِ بِالرَّحْمَةِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ التَّوْفِيْقَ وَ الْعِصْمَةَ وَ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنْ غَيَاهِبِ التُّهَمَةِ يَا رَحِيْمًا بِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, lingkupilah aku di bulan ini dengan rahmat-Mu, anugrahilah aku taufik dan penjagaan-Mu. Sucikanlah hatiku dari benih-benih fitnah/kebencian, Wahai yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.

Minggu, 07 April 2024

PROF. QURAISH SHIHAB DIMATA PROF AHMAD M. SEWANG


PROF. DR. H.M. 0URAISH SHIHAB, M.A. DI PENTAS MUBALIG

FOOTNOTE HISTORIS:
By Ahmad M. Sewang 

Prof. Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia, juga sering tampil di pentas mubalig. Dengan keilmuannya yang luas dalam bidang agama dan ke ahlianya di bidang ilmu tafsir Al-Quran, beliau memberikan ceramah dan kuliah yang mendalam tentang ajaran Islam serta nilai-nilai spiritual. Prof. Quraish Syihab sepanjang bulan Ramadan ini tampil di Metro tv membawakan pengantar berbuka puasan, dengan judul, "My Shariah First." Quraish Shihab adalah keluarga terpelajar, bapaknya 
Prof. Abdurrahman Syihab juga seorang ulama dan mantan Rektor IAIN Alauddin Makassar yang dhormati. 

Saya bersyukur karena selama
diamanahkan sebagai Direktur PPs UIN Alauddin Makassar saya menemani beliau dan manfaatkan kepintaran beliau tenagai dosen Tafsir dan mubalig di DPP IMMIM. Beliau adalah doktor pertama tafsir di al Azhar University untuk Asia Tenggara. Jadi beliau dikenal talenta sebagai ulama mufassir, pendidik, dan mubalig. Sebagai mubalig ia  menembus segala lapisan masyarakat; mulai dari Presiden sampai ke umat lapisan bawah. Beliau juga dikenal moderat dalam membawakan materi dakwahnya disertai bahasa santun. Saya manfaatkan kesempatan menemani beliau dengan banyak belajar.  Menurut pengalaman almarhum Prof. Syuhudi Ismail yang pernah menjadi mahasiswanya, "Jika ada pertanyaan dari mahasiswa pada Prof. Quraish Shihab yang levelnya agak tinggi, beliau menjawab lebih tinggi lagi, sebaliknya jika pertanyaannya itu rendah, maka jawabannya juga diturunkan," kata Syuhudi suatu waktu pada penulis. Jadi kemampuan penyesuaian diri yang tinggi, membuat beliau surviva sampai kini. Saya juga pernah belajar pada beliau beberapa semester dalam mata kuliah tafsir dan hadis di PPs IAIN Syarif Hadayatullah Jakarta.

 Prof. Quraish Shihab tampil di berbagai kesempatan telah menginspirasi dan memberikan pemahaman mendalam tentang ajaran Islam pada masyarakat Indonesia.

Wasalam,
Kompleks GPM, 8 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (27)


Perempuan Menjelang Lebaran

Manusia tidak bisa memahami realitas secara utuh, kita hanya mampu menciptakan cara untuk menjalin hubungan dengan realitas secara baik (itupun kalau mampu) dengan segala upaya yang sungguh-sungguh. Ini disebabkan karena kebenaran dari realitas itu sendiri bukan hanya soal pengetahuan melainkan juga dengan penghayatan dan keterbukaan.

Perempuan merupakan bagian dari realitas, jadi benar kalau perempuan memang selalu unik untuk dibahas dan tidak ada habisnya untuk terus diperbincangkan. Apakah memahaminya dari sudut pandang ekonomi, politik, seni atau sebagai aib?  

Perempuan, dilihat dari tingkah lakunya (kebanyakan) melihat dirinya sendiri sebagai sebuah seni sehingga diperlihatkan sana sini untuk dipertontonkan, ada juga yang melihat realitas dirinya sendiri sebagai alat untuk menarik perhatian orang lain sehingga dipoles sebaik mungkin.

Tubuh perempuan yang dilihat secara seksual semata, akan membawa kesadaran kita menjadi kesadaran binal. Kesadaran binal disini adalah kesadaran yang pusat perhatian hanya tertuju pada kenikmatan seks belaka. Sehingga kebenaran dari tubuh perempuan tertutupi karena yang ada adalah bagaimana cara meraih pengalaman erotis dari tubuh perempuan itu sendiri. Otak kita menjadi binal yang menjelma menjadi otak pedofil.

Lekuk pada tubuh perempuan memang sangat mendominasi dibandingkan dengan lekuk yang ada pada laki-laki. Bagi laki-laki- maaf, fakta bahwa melihatnya saja membuat erotis apalagi membelainya. 

Ditambah kehadiran teknologi dengan slogannya "hisap sebanyak mungkin dari modal sesedikit mungkin" dari sini pun perempuan kerap dimanfaatkan sebagai sumber pengahasilan misalnya digunakan dalam iklan fashion, baik itu pakaian ataupun perhiasan. Kekayaan eksistensi dari tubuh perempuan memang sangat rumit dan juga agung sekaligus menggiurkan.

Keindahan perempuan tidak lagi dilihat sebagai anugerah yang harus dijaga eksistensinya akan tetapi dilihat sebagai obyek untuk memeras keuntungan sebanyak-banyaknya yang akibatnya merugikan perempuan. Jangan heran, apabila banyak di media pemberitaan terkait dengan pemerkosaan telah terjadi dimana-mana.

Tidak hanya pada tubuh perempuan, segala bentuk realitas yang ada pun dilihat sebagai obyek keuntungan alias pengumpulan modal. Merusak alam adalah salah satu akibatnya. Bagaimana tidak, keindahan alam tidak lagi dilihat sebagai keindahan sebagaimana mestinya akan tetapi dilihat sebagai obyek pariwisata yang banyak menguntungkan bagi pengelolanya.

Betulkah laki-laki masa kini lebih memilih wanita seksi dari pada perempuan cantik? Dalam jaringan kapitalisme, perempuan telah dikendalikan oleh ideologi kepentingan pasar. Tubuh yang merupakan bagian privat perempuan sudah menjadi milik publik, membangkitkan fantasi disebabkan gaya dan cara berpakaian menjadi banyak variasi.

Dalam basis politik emansipasi, perempuan dipotret menjadi makhluk penggoda sehingga terjadi pergeseran prilaku real menjadi citra, etika menjadi estetika, prestasi menjadi frustrasi.

Mengapa seks seringkali terjadi? Karena Fashion menjadi kebutuhan dari seluruh populasi perempuan yang diciptakan terus menerus oleh pasar kecantikan (Kapitalis-Seksualis). 

Secara terbiasa, perempuan telah hanyut pada sebuah keadaan yakni sibuk menciptakan kecantikan mitosnya, sifat alami kecantikan sudah benar-benar tidak mampu membuat perempuan cantik. 

Pada kenyataanya menuju lebaran selain pakaian, juga begitu banyak lipstik dan alat-alat kecantikan lainnya terjual laku. Hari lebaran adalah hari pamer kecantikan, pamer penampilan dan juga pamer keunggulan. Wallahu a'lam bisshowab.

(Tulisan di 21 Mei 2022)

Doa Hari ke 27

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ فَضْلَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَ صَيِّرْ أُمُوْرِيْ فِيْهِ مِنَ الْعُسْرِ إِلَى الْيُسْرِ وَ اقْبَلْ مَعَاذِيْرِيْ وَ حُطَّ عَنِّيَ الذَّنْبَ وَ الْوِزْرَ يَا رَؤُوْفًا بِعِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, berkahilah aku di bulan ini dengan mendapatkan lailatul qadr. Ubah arah hidupku dari hidup yang susah menjadi mudah. Terimalah segala permohonan maafku dan hapuskan dosa-dosa dan kesalahanku. Wahai Yang Maha Penyayang terhadap hamba-Nya yang saleh.