Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGi SEJARAH (9)

By Ahmad M. Sewang

Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya hendaknya mengingatkan sebuah hadis Nabi bahwa ini  adalah pelajaran sejarah yang perlu dipertimbangkan mana yang segera diambil sebagai pelajaran dan mana yang tidak perlu, mengingat kita sedang berada dalam sebuah dinamika perubahan yang terus-menerus, sedang dalam ilmu sejarah mengajarkan sejarah penguasa. Artinya, sejarah masyarakat Pambusuang selama ini tidak lebih adalah sejarah siapa yang sedang berkuasa menentukan apa yang bernilai monumental yang perlu dilestarikan untuk generasi kita dan yang akan datang. Kita tidak  pernah (melangsungkan pameran Sejarah di sekitar awal abad ke-20) dikuasai oleh papazan (papadang artinya para pedagang yang berlayar sampa ke Padang, Minangkabau.)

Saya merasa beruntung karena ketika melakukan penelitina S1  masih bertemu Hj. Asia (Amma Kanung). Dari sanalah banyak memperoleh informasi tentang para pedagang Mandar. Para pedagang berphoto di Padang tahun 1923. Mereka mengelilingi Abd. Muis (pinpinan pusat SI). Mereka menyebut diri sebagai Syarikat Mandar. Saya meminta agar photo ini bisa di simpang dengan baik untuk dipelihara karena di antara bukti sejarah yang bernilai dan masih terpelihara sampai sekarang, menunjukkan bahwa Pambusuang memiliki sejarah gemilang masa lalu. Saya berpendapat photo itu masih tersimpan dengan baik di rumah annanguru Hawu di Polewali. Mungkin annaguru Hawu menyimpang banyak dokumentasi yang bisa di pamerkan pada hari haul Darwis Hamsa.

 Perlu diketahui ada beberapa orang yang tergabung dalam photo Syarekat Mandar itu di antaranya ada dari Pambusuang, Karama, dan Babarura. Dengan demikian hari haul Darwis Hamsa memiliki makna historis dan nilai tambah dengan adanya pameran itu. Saya pernah diberitahu Darwis Hamsa ketika beliau masih hidup bahwa akan memberikannya pada orang yang terlibat pada Syarikat Mandar itu sebagai pahlawan. Tetapi beliau terlanjur wafat dan saya pikir  cita-cita luhur almarhum bisa dilanjutkan oleh para penerusnya. Sebenarnya, adalah kebanggaan warga Pambusuang kalau bisa dipastikan kontroversi bahwa Darwis Hamsa adalah kelahiran Pambusunag. Saya sebagai warga dan kelahiran Pambusuang sungguh merasa sangat bangga.

Wasalam,
Kompleks GPM, 27 Maret 2024

MEMOAR SYAHRIR HAMDANI

Adi Arwan Alimin

Saya mengenal beliau sejak tahun 1992. Terkesima melihat pemuda gagah dan cerdas yang menjadi ketua panitia Kemah BAKTI Pemuda se-Sulsel di pegunungan Tompo, Barru Sulawesi Selatan.

Rupanya anak muda dari Polewali. Kami yang datang berkemah di acara itu membicarakannya sebagai figur panutan. Hingga mengenalnya lebih dalam sejak fase perjuangan pembentukan Provinsi Sulbar tahun 2000-an.

Saat itu Syahrir Punggawa Gema Kosgoro Sulsel, saat itu Ibnu Munzir Ketua KNPI Sulsel. Jabatan organisasi kepemudaan level tinggi, hal tak mudah bagi orang yang lahir dari daerah marginal kala itu.

Buku ini merekam sepak terjangnya sejak remaja, aktivis kampus Unhas, juru lobi Sulbar di Senayan hingga hari ini. Ada masa di mana dia menangis mengisahkan getirnya kehidupan di masa kecilnya.

Baca buku ini bila ingin belajar tentang hakikat hidup sebagai pejuang. Sebagai lelaki tanggung menantang badai.

Senin, 25 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (8)

By Ahmad M. Sewang

Dalam ilmu budaya, selalu diingatkan bahwa kita sedang menghadap ke depan menuju hidup yang lebih comport. Jika dahulu cukup sekolah paling tinggi PGA 6 Tahun. Itu pun ikatan dinas. Nanti pada periode saya, baru dibuka jalan melanjutkan studi ke PPS agama dan tempatnya cukup jauh di Syarif Hidayatullah Jakarta dan Yogyakarta, itupun lewat seleksi yang sangat ketat. Bandingkan sekarang PPs sudah ada di depan pintu rumah, misalnya di STAIN Majene.

Demikian pula pengangkatan dosen dahulu masih mudah. Dosen saya waktu masuk studi 1973 masih banyak tamatan BA. Kemudian sesuai perkembangan harus
sarjana dahulu atau Drs. Saya sendiri dosen tahun 1982 baru saja selesai sarjana. Ketika diangkat alhamdulillah sebagai dosen, terdapat tiga lembaga bersamaan: yaitu BKKBN Kendari, Kanwil Departemen Agama Sulawesi Selatan dan dosen di IAIN Alauddin Makassar. Berdasarkan petunjuk warek II, Drs. Muhammad Ahmad saya pilih masuk IAIN. Jika mengisahkan ini menggambarkan dahulu untuk PNS masih mudah. Sekarang persyaratan jadi dosen sharus magister. Magister sekarang sudah over capasity. Menurut pridiksi ke depan untuk jadi dosen harus doktor. Jadi untuk sekolah semakin mudah tetapi semakin panjang jalan yang ditempuh. Jadi studi semakin lama dan sulit sebagai persyaratan jadi PNS.

 Jadi sekali lagi,i di antara yang selalu saya pedomanI adalah menghadap ke depan untuk selalu bersemangat optimis. Adapun sekali-sekali melihat ke kaca spion ke belakang adalah agar tidak tertabrak kendaraan dari belakang atau untuk meluruskan perjalanan ke depan. Jadi tu melihat ke belakang agar meluruskan perjalanan ke depan.

Melihat ke depan dengan berani menembus batas, dan berani menerobos sekat-sekat yang kita ciptakan sendiri. Beranilah bersahabat dengan orang-orang pintar. Jika ingin mengetahui orang bisa dipercaya, maka kenallah sahabatnya lebih dahulu. Di Makassar agar menemukan sahabat yang baik maka saya bergabung di Pengajian Aqsha, disana tergabung umumnya, alumni kedokteran yang ingin mendalami pengetahuan agama, tampak perlu tahu latar belakang organisasi Islamnya, di Jakarta  bergabung di Paramadina dan bersahabat dengan Nurchalis Madjid, setelah kembali ke Makassar memimpin PPs saya bersahabat dengan Prof. Quraish Syihab, Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat, dan Husni Djamaluddin. Khusus yang disebut terakhir begitu dekatnya sama dengan keluarga sehingga waktu melamar berangkat dari rumah beliau. Bersahabat orang baik sama dengan menemukan prosfek lebih baik di masa depan. Mohon maaf, jika ini dikisahkan dengan maksud agar bisa dicontoh hal yang positif. Saya lebih mudah rasanya mengisahkan pengalaman pribadi daripasa pengalaman orang lain.

Wasalam,
Kompleks GPM, 26 Maret 2024

SELAMAT JALAN BANG SYAM

Adi Arwan Alimin 

Innalillahi wainna ilaihi rajiun
Selamat jalan Kak Syamsuddin Idris. Beliau akrab dalam sapaan Bang Syam sebagai salah satu abang senior kami di Wonomulyo.

Saya mengenalnya sejak puluhan tahun lalu, saya seletting adiknya di SMP 1 Wonomulyo. Kami tetanggaan, rumah kami diantarai ledeng dan trans Sulawesi.

Sosok ini amat familiar. Selalu fokus pada isu apapun yang berkaitan kepentingan orang banyak. Jejak juangnya tercatat dalam proses perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, juga apa yang sedang ditunggu rakyat banyak: Kabupaten Balanipa.

Saya bersaksi Bang Syam Orang Baik. Telah menjadi Kakak, Sahabat bahkan sparring pada beberapa wacana kerakyatan. Bila dihitung-hitung rahimahullah lebih banyak menelepon ke saya, dibanding saya yang menghubunginya. Ini menandaskan beliau lebih care, lebih sayang. 

Saya bahkan sering membiarkanya memberi kritik diam-diam via telepon. Saya menganggapnya abang jadi patuh mendengarnya. 

"Jangan berhenti bergerak, lakukan sesuatu bagi kepentingan orang banyak." Dan, kita tidak pernah tahu selama ini rupanya dia banyak mengurusi anak-anak pesantren, dan masjid. 

Hari ini, setelah melewati sahur, Allah memanggilmu pergi saat matahari baru beranjak dari Syuruq. Bang Syam engkau hanya 'mudik" lebih awal Ramadan Ini. 

Di sini kami menangisi segala budi baikmu. 
Innalillahi abang Syam.

Mamuju, 25 Maret 2024
~DengAdi~

Minggu, 24 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (7)

By Ahmad M. Sewang

Sejak pertama kali
menginjakkan kaki di PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1986 sudah menggariskan sebuah kaidah sebagai pedoman hidup dalam beragama bahwa semua mazhab, aliran, dan organisasi dalam Islam sepanjang secara tulus berpegang pada al Quran dan hadis sebagai premis utama, mereka itu adalah saudara sesama muslim yang tidak bisa dikeluarkan dari Islam, sekali pun berbeda firqah. Menurut yang saya pahami sampai sekarang kaidah tersebut terus dikembangkan di PPs PTKIN seluruh Indonesia.

 Umat masih terperangkap dengan sekat-sekat sempit yang diciptakannya sendiri. Mereka menganggap dirinya sendiri dan kelompoknyalah paling benar, sedang kelompok lain tidak ada benarnya. Klaim kebenaran inilah membuat stagnan umat berabad-abad. Sebagai contoh, saya sendiri mengalaminya. Pernah dalam sebuah seminar saya mengutip pendapat seorang ilmuwan, Dr. Firanda Andirja Abidin, Lc., M.A., Alumni universitas Madinah, kemudian segera mendapat teguran dari salah seorang peserta yang justru sudah menyandang gelar professor riset. Alasaannya,  melarang mengutip ilmuwan itu karena dia berfaham Wahhabi. Menurut saya, tidak semua ajaran Wahabi negatif yang harus dihindari, tetapi sebaliknya ada pula positif. Di antara jasa besar Dr. Firanda adalah satu-satunya orang Indonesia dipercaya pemerintah Arab Saudi membawakan pengajian di Masjid Nabawi dalam bahasa Indonesia, dan membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa ke dua di Arab Saudi. Saya mengenal beliau ketika di Madinah. 

Karena itu umat harus memiliki kemanpuan selelktif kepada pendapatnya yang positif. Pendapatnya yang negatif tentu tidak perlu diterima. Sebaliknya tidak semua  pendapat kelompok sendiri lebih baik dibanding dengan yang lain. Bahkan pendapat sendiri bisa ditolak jika membawa mudarat atau bikin  keonaran dalam masyarakat. Masih ada sebagian masyarakat muslim lebih leluasa mengutip pendapat ilmuwan non Muslim daripada sesama muslim sendiri hanya karena beda mazhab. Seperti saya temukan pada sebuah komunitas Muslim Indonesia di pinggiran kota Melbeurne, Australia. Mereka sengaja kami datangi bersama Zamahsary Dzafir dan kawan-kawan lainnya. Komunitas tersebut sementara mengajarkan Tafsir al Misbah, karya Prof. Quraish Shihab. Ketika saya tanyakan kelebihan dan kekurangan tafsir itu. Menurutnya, kelebihannya terletak pada bahasa yang digunakan, lebih mudah diterima masyarakat Muslim Indonesia di Melbourne, tetapi kekurangannya, karena penafsirnya banyak mengutip pendapat al-Tabataba'i, sedang at-Tabataba'i adalah penganut mazhab Syiah. Namun, setelah saya tanyakan pada Prof. Quraish Syihab setiba di Indonesia, beliau menjawab, kenapa jika mengutip pendapat Plato, Agustinus dan Goerge Sarton tidak dimasalahkan? Mendengar itu, saya terdiam tak menjawab. Seperti halnya, di Unhas saya sering diundang menguji di universitas ini. Mereka sering mengutip pandangan Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Ibn Khaldun. Bagi Unhas pendapat siapapun yang relevan harus diakomodir, tetapi sebaliknya, walaupun pendapat sendiri jika tidak relevan, apalagi bikin kacau masyarakat, maka hindari jangan dikutip.

Mengutip pendapat mazhab lain bukan berarti sesuatu yang terlarang, seperti mengutip pendapat non muslim langsung menjadi non muslim juga, melainkan menunjukkan keberanian menembus batas demi memperluas wawasan, seperti pendapat Prof. Quraish Shihab, "Semakin luas wawasan seseorang ilmuan berbanding lurus dengan sikap keterbukaan dan ketidakfanatikan pada seseorang." Ini juga menunjukkan kebesaranng hati dan penghormatan pendapat sesama muslim walau beda mazhab. Ketiga, pendapat lain dikutip karena dianggap lebih relevan dan lebih kontektual. Terkadang ada sebagian orang karena fanatik pada paham mazhabnya, membuat mereka terperangkap pada sekat-sekat sempit yang diciptakannya sendiri. Sehingga mereka tak peduli lagi pada pandangan ulama lainnya. Grand al Azhar, Pimpinan Pusat Muhammadiah, Prof. Din Syamsuddin dan almarhum mantan Ketua PB NU, KH Hasyim Muzadi serta 150 ulama se dunia, mereka ikut menyetujui risalah Amman. Salah satu  keputusannya bahwa tidaklah adil jika melakukan generalisasiasi pendapat satu kelompok kecil dari Sunni atau Syiah, kemudian dinisbahkan secara keseluruhan ke seluruh mazhab itu. Inilah sebuah kesalahan fatal dan salah satu faktor rumitnya membangun persatuan umat.

Keengganan bergabung secara struktural pada organisasi mainstream dimaksudkan agar bisa menjadi media untuk mempersatukan umat walau pada skala kecil seperti IMMIM. Sebagai mantan ketua umum  DPP IMMIM saya telah berusaha menghimpun anggota tanpa memandang latar belakang mereka. Bahkan saya bisa menikmati bergaul dengan sahabat-sahabat yang berbeda latar belakang organisasi tersebut. Saya pun patut bersyukur karena keinginan itu saya bisa inpelementasikan dengan menulis sebuah buku di tengah  era masih timbulnya perbedaabn. Buku itu berjudul, "Persatuan Islam dan Saling Menghargai Perbedaan." Buku itu berkesimpulan kita hanya bisa bersatu bila siap menghargai perbedaan dalam masalah furu'. Sebab perbedaan semacam ini adalah sunatullah, sebuah kekayaan dan rahmat untuk umat. dalam usaha berfastabiqul khaerat. Karena itu organisasi Islam mana pun mengundang saya dalam pengembangan Islam saya hadiri. Saya pernah diundang di kantor NU Wilayah untuk berbicara pengembangan dakwah ke depan dan saya pun penuhi. Sekarang saya diundang jadi dosen PPS, pembina mata kuliah Studi Peradaban Islam di Universitas Muhammadiyah Makassar. Saya pun menjalankan tugas itu dengan senang hati. Jadi dalam masalah akademik pasti saya penuhi pada setiap undangan, termasuk undangan seminar di HMI walau tidak pernah di kader di organisasi ini. Beberapa tahun lalu saya diundang berceramah di Unismu dan juga saya ladeni.

Akhirnya, setelah saya pulang kampung saya melihat sudah banyak perubahan yang terjadi. Sejalan dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman. Semakin panjang bentang waktu melihatnya, semakin banyak terlihat perubahan itu. Kehidupan di kampung sudah hampir sama dengan di kota. Bahkan tidak lagi seragam paham keagamaan, tetapi sudah mulai transisi ke arah beraneka ragam. Hal ini karena sudah mulai beberapa keluarga anaknya dikirim ke kota untuk belajar. Mereka ini yang membawa paham baru ke kampung. Muhammadiyah yang dianggap paham sesat dahulu sudah mulai dianggap sebagai teman bersama mencari kebenaran. Dalam ilmu sosial dikatakan, "Tidak ada yang tetap di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri." Dalam QS al-Rahman, 26-28, dikatakan,-
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan  yang manakah yang kamu dustakan?
 Dalam ilmu budaya agama pun mengalami perubahan. Saya masih ingat waktu anak-anak, belum ada jam, radio, apa lagi tv. Beragama atau berpuasa berpedoman pada tanda-tanda alam, misalnya berbuka jika ayam sudah naik di praduan pertanda bahwa matahari sudah terbenam. Demikian pula kalau fajar sudah terbit ditandai jika ayam sudah mulai berkokok. Beragama ke depan akan mengalami perubahan.

"Sebagai tanda syukur pada-Mu ya Allah saya ingin mengucapkan terima kasih,
1. Engkau telah membukakan jalan untuk studi dan reset sampai di manca negara dan bertemu aneka macam pendapat, manusia yang cukup berarti dan memperkaya khazanah dalam menjalani samudra kehidupan. Saya berkeyakinan, andai bukan karena kehendak-Mu saya tetap tinggal di kampung seperti masyarakat kebanyakan niscaya saya akan jadi terlibat dalam professi sebagai nelayan atau petani.

2. Sebagai hamba, sepertinya merasa malu memohon lagi sesuatu yang bersifat duniawi pada-Mu, seperti panjang umur sebab jangan sampai dianggap sebagai hamba tak tahu diri dan tak tahu bersyukur, seperti Engkau firmankan secara berulang-ulang dalam QS  al-Rahman, 
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.

Wassalam,
Makassar,  25 Maret 2024

Jumat, 22 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (6)

By Ahmad M. Sewang

Biasanya saya istirahat menulis pada akhir pekan, sebagai mana halnya kantor berita yang saya ikuti. Tetapi khusus hari ini saya tetap menulis, sebab hari ini bersamaan hari haul Darwis Hamsa yang saya singgung di akhir tulisan.

Saat studi di S1 Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar.  Sikap saya berbeda ketika di Polewali. Kecuali  aktivitas sebelumnya yang tetap saya teruskan, yaitu megikuti kegiatan pengajian kitab kuning sebagai pesan kiyai saya di kampung, seperti akttif pengajian di Masjid Raya Makassar dan Pasar Terong, K.H. Mustari, Makassar di samping rutin mengikuti kuliah. Di Makassar tidak lagi ikut pada organisasi mainstamen Islam, kecuali hanya aktif mengikuti kegiatan ormas Islam yang independent. Saya tidak ikut di NU, Muhammadiyah dan SI. Saya hanya aktif di pengajian Aqsha, Remaja Masjid dan di IMMIM. Saya masuk di IAIN Makassar tahun 1973. Jika dibuat dalam bentuk perangkatan, saya masuk angkatan ke dua setelah angkatan pertama dari Mandar sebagai as Sabiqunal Awwalun. Dari Pambusuang yang masuk angkatan pertama: Baharuddin Lopa yang mulai kuliah di Unhas tahun 1955, Basri Hasanuddin, dan Muchtar Husein. Zaman itu termasuk zaman kesulitan. Mandar masih dikuasai 7.10 dan gerombolan bersenjata. Tetapi siapa pun yang lolos dari seleksi alam dalam studi akan langsung kerja. Saya sendiri termasuk angkatan kedua dari Pambusuang. Mulai saat itu sudah ada beberapa generasi muda kampung yang pergi studi. Bisa dilihat teman SR atau Ibtidaiyah berapa yang lanjut ke Sanawiah, dan berapa lagi yang lanjut SP IAIN dan yang bisa melanjutkan ke IAIN dari sini berapa orang seangkatan yang lanjut ke Pascasarjana dan berapa orang yang bisa jadi Guru Besar. Dari sini saya bersyukur jika saya kemukakan ini semata-mata   فامابنعمة ربك فحدث  bukan sebuah kesombongan:
1. Kamilah professor pertama di UIN Alauddin suami isteri.
2. Saya termasuk orang pertama yang bisa menyelesaikan biografi dan auto biografi di UIN Alauddin Makassar.
3. Saya juga bersyukur karena termasuk al-sabiqunal awwalun menginjakkan kaki di lima benua di dunia.
4. Saya juga termasuk di antara keluarga yang Assabigunal Awwlun melakukan perkawinan exogami. Sebelumnya perkawinan umumnya indogami mengingat pergaulan masih terbatas. Sedang pergaulan keluar terbatas karena dibatasi oleh transfort yang belum semaju seperti sekarang. Bergaul di luar suku penuh kecurigaan. Beberapa orang selalu menyuruh berhati-hati, misalnya hati-hati ke Mamuju sebab mereka punya guna-guna bikin lembek kepala atau jangan ke Papua nanti di makan, mereka pemakan manusia. Dahulu perkawinan ideal adalah sepupu. Sekarang tidak ada lagi kecurigaan semacam itu, pergaulan tambah meluas pergi studi ke mana saja, ketemu orang yang berbeda suku bisa saja kawin. Dan perkawinan lebih didominasi oleh yang bersangkutan, jika dahu didominasi keluarga. Bahkan ada kecenderungan perkawinan masa kini exogami setelah pergaulan semakin meluas. Sebagai contoh perkawinan antara negara, Prof. Dr. Andi Faisal kawin dengan muslimah Prancis setelah sama-sama studi di negara Ganada.

Saya bermukim di Belanda untuk riset selama satu tahun  di Leiden, dan naik haji pertama saya bersama isteri justru dari Belanda. Sebulan penuh riset di Mesir, seminggu short riset di Melbourne, Australia.
 Karena itu ketika saya tiba di Ibu kota dunia, New York, AS, saya langsung bersyukur dan berterima kasih pada Allah swt. dengan berkata dalam hati, "Saya dilahirkan di kampung bersahaja dan bisa menyaksikan Ibu Kota Peradaban Dunia, tempat berkantor PBB, andai saya lahir di New York, mungkin s⁰aya tidak pernah tahu budaya bersahaja di kampung.

Setelah diangkat sebagai PNS dan diutus melanjutkan sekolah di Pascasajana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari sini saya mendapat pengetahuan baru dan berpendapat, "Semua paham fikih dan teologi yang muncul dalam sejarah adalah Islam selama mendasarkan diri pada al-Quran dan Hadis dengan tulus." Paham inilah yang saya bawa melanglang buana ke manca negara. Lima benua di dunia ini sudah saya tempati untuk belajar paling kurang 14 negara saya telah lewati. Saya telah menulis buku khusus tentang in dengan judul, "Rihlah ke Mancanegara." Ketika saya tiba di air port New York sebagai Ibu kota Dunia, di sana saya bersyukur pada Allah swt. sambil berdoa, "Ya Allah saya berterima kasih pada-Mu sebab saya lahir di kampung bersahaja, kemudian Engkau telah membuka mata dan hati saya melihat peradaban dunia begitu kaya dan luas bahkan pernah hidup di Leiden, Belanda, selama satu tahun. Bayangkan, jika saya tetap di kampung mungkin tetap berpaham konservatif tradisional dalam beragama. Sebaliknya, andai kata saya lahir dan hidup di New York sebagai pusat peradaban dunia, sudah pasti saya tidak paham kehidupan kampung yang bersahaja." 

Berhubung karena ada Haul Darwis Hamsa hari ini di Pesantren Jareje Pambusuang, maka kesempatan ini saya akan menyinggung sepanjang yang saya ketahui. Selama studi di Polewali saya banyak berinteraksi dengan beliau, beliau tempat bertanya apa yang tidak diketahui. Darwis Hamsa memang tidak banyak disinggung sebelumnya karena tempat kelahirannya masih kontroversi; apakah lahir di Pambusuang atau di Pulau Sabaru? 

Yang jelas beliau termasuk tokoh yang terhormat. Darwis Hamsa Ketua Partai Syarikat Islam cabang Polmas sekaligus ketua cabang IMMIM Polmas, bahkan sebagai pernah saya singgung tempat saya pelatihan SEPMI di Polewali. Beliau Pimpinan cabang PSI Cabang Polmas adalah lanjutan Syarikat Mandar yang didirakan para pedagang Mandar yang berdagang sampai di Padang yang documen photonya masih bisa disaksikan tahun 1923. Abdul Muis Pimpinan SI Pusat Jakarta duduk di tengah-tengah di kelilingi para pedagang asal Mandar, yaitu dari Pambusuang, Karama dan Tangnga-Tangnga. Barangkali photo itu masih bisa ditemukan di rumah almarhum annaguru Hawu. Photo docomen itu sangat penting dan memiliki nilai sejarah.

Ketika saya kuliah di Jakarta saya ketemu lagi almarhum Darwis Hamsa dan beliau bekerja di Pusat Lembaga Pembangunan milik Adi Sasono. Di Jakarta beliau bergabung paguyuban asal dari Lambanan di sana beliau  mengatur pelaksanaan dakwrahnya. Dari sini beliau selalu menempatkan diri orang yang bermanfaat. Dalam suasana demikian muncul  pertanyaan besar? Mengapa orang Mandar yang tergabung dalam Syarikat Islam rata-rata orang cerdas, seperti Darwis Hams, Basri Hasanuddin, Rahmat Hasanuddin, Makmun Hasanuddin, Andi Mappatunru, dan Husni Djamaluddin?

Wasalam,
Kompleks GPM, 23 Maret 2024

MAMUJU ETNIC || Tintilingang Sang Jawara

Dalam tradisi lisan masyarakat Mamuju kita sering mendengar nama Tintilingang yang menjadi sosok legenda Tobarani (jagoan) dari bumi Manakarra ini. Namanya yang kini diabadikan sebagai nama salah satu jalan di lingkungan Kasiwa di Kelurahan Binanga Kecamatan Mamuju ini bagi masyarakat penduduk asli Mamuju pasti pernah mendengar dan tahu bagaimana kisah kehebatan Sang Jawara tersebut. 

Dikisahkan bahwa sosok Tintilingang ini berpostur tubuh kecil dan berkulit hitam dan memiliki kesaktian yang tinggi dan merupakan pendekar tak tertandingi dikalangan Tobarani dikerajaan Mamuju. Tidak banyak informasi tentang sosok ini hidup di masa siapa raja yang berkuasa saat itu, kuat dugaan bahwa beliau hidup di masa kejayaan kerajaan Mamuju yaitu Maradika Tomatindo disambayanna atau Lasalaga di tahun 1500.M. 

Tintilingan hanyalah nama gelar yang disandangkan padanya yang berarti "PanTinting Talingang" yang diartikan dengan "orang yang menenteng telinga", digelar dengan Pantinting Talinga karena dikisahkan bahwa setiap telinga musuh musuh yang dikalahkan dalam perjalanannya akan dipotong dan diikat pada seutas tali dari kulit kayu kemudian dibawa pulang ke Mamuju sebagai pembuktian kepada Maradika Mamuju bahwa baginya tidak satupun jagoan mulai dari kerajaan Gowa sampai ketanah Mandar yang mampu menandingi kesaktiannya. 

Diceritakan bahwa suatu saat dimasa itu Raja Mamuju diundang oleh raja Gowa untuk datang menghadiri suatu gelaran adat di Kerajaan Gowa dan raja Mamuju pun berniat datang menghadirinya dengan membawa serta beberapa punggawa dan anggota keluarga kerajaan. 

Dan sebagai seorang punggawa kerajaan tentunya Tintilingang tidak mau ketinggalan untuk hadir, namun keinginannya itu tidak mendapat restu dari raja karena raja tahu bahwa Tintilingang punya sifat tempramen dan suka berkelahi dengan siapapun yang dianggapnya sok jagoan. Alhasil raja pun menolak Tintilingan ikut dalam rombongan tersebut.

Singkat cerita rombongan kerajaan Mamuju pun telah sampai dipelabuhan Gowa dengan perahu besar beserta Punggawa dan keluarga kerajaan, tapi alangkah kagetnya mereka tiba tiba sesosok manusia melompat keluar dari bawah buritan perahu yang tak lain adalah Tintilingang. Raja dan anggota kerajaan lainnya kaget dan heran melihat keberadaannya yang tiba tiba muncul dari bawah perahu tersebut, raja tentu saja marah dan mengingatkan Tintilingang untuk menjaga kehormatan kerajaan Mamuju dengan tidak berbuat sesuatu yang bisa merusak hubungan dengan kerajaan Gowa.

Melihat kehadiran Tintilingang dikerajaan Gowa para jagoan dan pendekar Gowa yang telah mendengar ketenaran Tintilingang ini ingin mencoba bertarung dengannya. Mereka berupaya menggoda Tintilingang dengan berkokok layaknya ayam jago yang bermakna isyarat untuk memancing siapapun untuk masuk arena untuk berduel jika ada yang menyahuti kokokan itu. Para punggawa kerajaan Mamuju dan berapa undangan dari kerajaan kerajaan lain tahu makna kokokan dari jagoan Gowa tersebut. Punggawa dan jagoan kerjaan Mamuju tidak mau terpancing dan berusaha menahan diri agar tidak terprovokasi dan berusaha menenangkan Tintilingang agar tenang dan bersabar. Semakin lama kokokan sang pendekar pendekar dari kerajaan Gowa ini membuat Tintilingang tak mampu menahan diri lagi, dengan suara lantang ia pun membalas kokokan tersebut. Semua undangan kaget dan tahu bahwa tidak lama lagi pasti terjadi pertarungan duel antar jagoan ini, dan benar saja akhirnya pertarunganpun terjadi.

Alhasil jagoan kerajaan Gowapun tumbang ditangan Tintilingang dan ini membuat raja Mamuju semakin murka melihat kelakuan Tintilingang yang telah mencoreng kehormatan raja Mamuju di gelaran adat yang seharusnya penuh dengan kedamaian. Namun raja Gowa menganggap itu hal yang pantas bagi jagoannya karena telah lebih dulu memancing situasi jadi kacau balau. Raja Mamuju akhirnya menghukum Tintilingang agar tidak ikut dalam perahu dalam perjalanan pulang ke Mamuju, sebagai hukuman Tintilingang harus berjalan kaki lewat darat jika ingin kembali pulang ke Mamuju seorang diri, dan harus membawa potongan telinga setiap jagoan dari kerajaan lain untuk membuktikan kasaktian dan keberanian yang dimilikinya. Lama berselang kemudian telah tersiar kabar akhirnya sang jagoan ini telah tiba di tanah Mamuju kembali.

Dan tentunya kedatangannya juga untuk membuktikan kepada Maradika (raja) Mamuju bahwa dia telah berhasil pulang dengan membawa seuntai telinga yang telah dipotong untuk membuktikan kesaktian dan keberanian Tintilangan Sang Jawara dari tanah Mamuju tidak tertandingi siapapun saat itu. (Arman Husain2018).

Sumber : informasi dari penutur yang dapat dipercaya. Kisah ini ditulis bukan maksud apapun melainkan sebagai upaya pelestarian budaya dan sejarah di Mamuju, adapun jika cerita dari versi kami ada kekeliruan mohon untuk dikoreksi. Wassalam..

Kamis, 21 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (5)

By Ahmad M. Sewang

BIOGRAFI STUDI SINGKAT PENULIS

Saya sekolah di Pambusuang mulai di Sekolah Rakyat Negeri (SRN) 1959, sambil sekolah di madrasah Diniah sore hari. Saya tamat SRN No. 2 tahun  1964/1965. Di sini saya menganggur dan ikut irama  suasana lingkungan masyarakat nelayan. Beruntung ada sebuah historical aksident terjadi pada pribadi saya yang mejadi rahmat tak terduga, membuat saya tidak meneruskan mengikuti sebagai nelayang. Kemudian setelah itu terjadi gempa bumi tektonik di daerah ini. Peristiwa ini membawa hikmah pada saya, sebab banyak tokoh Pambusuang dari Makassar berdatangan untuk menyatakan solidaritas dan membantu memajukan mayarakat Pambusuang. Di antaranya, K.H. Muchtar Husein, beliaulah pengide pendirian Pesantren Nuhiyah, bersama H. Zainuddin sebagai penyandan dana. Beliaulah juga yang mewakafkan tanahnya untuk bangunan Pesantren Nuhiyah yang kita saksikan sekarang, atas bantuan Arab Saudi, lewat usaha H. Muhammad Mu'ti beliau dengan kreativitasnya melakukan pembangunan masjid dan pesantren. Di sini saya terselamatkan dengan masuk pesantren tersebut pada tingkat Sanawiyah. Pengajarnya direktur Sayyid Mutfhhar dan gurunya para kiyai mulai dari paman saya sendiri, K.H. Ismail, K.H. Hafidh, K.H. Abdullah, K.H. Muhammad Said, K.H. Alwi al-Attas, K.H. Sayyid Thaha, dan K.H Rasyid. Jadi mereka di samping memberi pengajian dalam bentuk halakah juga mengajar di madrasah Sanawiah dalam bentuk klasikal. Di Sanawiah ada pengajar tetap seperti Sayyid Mutahhar, Kiyai muda H. Abdurrahman, H. Syauqaddin yang dibantu oleh kiyai mudah lainnya. Setelah selesai Sanawiah 1968, saya  melanjutkan studi di SP IAIN Alauddin di Polewali 1969.

Sebelum ke Ibu Kota kabupaten melanjutkan sekolah, Polewali, saya minta izin kepada guru saya, K.H. Hafid, beliau langsung menegur dengan berkata, "Pergilah karena di sini pelajaran tidak punya makna" tegurnya dalam bentuk setire. Artinya saya dilarang meninggalkan pengajian halakah di kampung." Itu juga menggambarkan bahwa Kiyai sangat menyayangi saya dan beliau berpandangan bahwa  pengajian kitab adalah yang terbaik pada saat itu. Namun, karena tekad sudah kuat untuk lanjut. Mendorong saya meyakinkan K.H. Hafid bahwa akan tetap melanjutkan pengajian kitab kuning di tempat baru. Akhirnya saya diizinkan lanjut ke SP IAIN di Polewali, namun sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan, kepada siapa pun saya belajar, setelah  keluar dari dari kampung. Seperti yang dikatakan almarhum Prof. Dr. Baharuddin Lopa (Barlop) di salah satu kuliah umumnya di IAIN Alauddin Makassar sekitar tahun 2000 bahwa saya saat itu sama dengan euporia di era reformasi yang dilukiskan oleh Barlop, "Bak burung yang baru ke luar dari sangkarnya, bebas terbang ke mana saja sampai tembok sendiri ditabrak." Saya mulai membuka diri, tidak lagi tebatas pada NU, seperti di kampung, juga pada semua ormas Islam yang ada di Polewali waktu itu. Jika ada kegiatan IPNU, PII saya ikuti, demikian pula Perti, IPM, bahkan saya ikut pengkaderan SEPMI saya pun di sinilah mulai tercium banyak teman-teman. Akhirnya saya dipanggil khusus K.H. Muhsin Tahir, putra Imam Lapeo sekaligus Syuriah NU Kabupaten Polmas. Saya diinterogasi di rumah beliau dengan beberapa pertanyaan, yaitu:
 "Kenapa kamu ikut pengkaderan di SEPMI?" tanya beliau. Saya pun sepontan menjawabnya dengan lugu, yaitu: "Sebab mereka juga muslim. Bukankah mereka juga adalah organisasi Islam?," kata saya spontan. Reaksi beliau mendengar jawaban saya dengan nada tinggi beliau berkata, "Jawabanmu sudah mulai salah," katanya. Namun karena berbagai buku telah saya baca, melalui penjual buku dari Parepare bernama Sayid Sahel, bahkan saya membantu menjualkan buku-bukunya dengan tujuan untuk banyak membaca. Dari sinilah saya berkesimpulan bahwa semua organisasi Islam di samping memiliki persamaan satu sama lain juga bisa berbeda dalam masalah furu. Berbeda dalam masalah furu adalah sunatullah dan dibokehkan. Karena itu, perlu disikapi dengan toleransi. Di Polewali saya aktif di pengajian dan berguru pada K.H. Muchtar Baedawi, K.H. Arif Lewa, K.H. Syamsuddin, K.H. Muhammad Idrus, dan K.H. Ma'mun.

Saya juga agak heran karena K.H. Zainal Abidin, waktu itu juga beliau menjabat Kandepag Polmas di samping sebagai guru. Beliau mengangkat saya sebagai asisten Mahfuzat di SP IAIN, padahal saya juga berkedudukan sebagai siswa di kelas itu. Dari sini saya mendapat pelajaran berharga,  1. Sikap fanatisme tidak ada untungnya dipelihara. 
2. Kemungkinan lain,  yaitu beliau beranggapan pengetahuan bahasa Arab saya rara-rata lebih baik dari teman-teman siswa lainnya. Beliaulah yang menceritakan sebagian peristiwa yang dialaminya beberapa dekde lewat di Pambusuang.

Wasalam, 
Kompleks GPM, 22 Maret 2024

Rabu, 20 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (4)

By Ahmad M. Sewang

Awal tahun 1940-an seorang pempinan Muhammadiyah sekaligus sebagai kadi di Ibu Kota Afdeling Mandar, Majene.  Karena kedudukannya itu, menbuat beliau diberi kesempatan sebagai khatib salat Jumat di masjid Jami di kampung ini. Beliau bernama K.H. Zainal Abidin. Waktu itu sebagai imam di Pambusuang H. Sahbuddin (biasa dipanggil Annangguru Hawu). Selesai Jumat Anangguru Hawu serta merta tidak setuju K.H. Zainal Abidin atas materi hotbahnya bahkan beliau sengaja membuatkan Kalindada yang menggambarkan pemahaman keagamaan ketika itu. Disampaikan tidak lama setelah selesai Jumat, kalindada itu berbunyi:

Polei Muhammadiyah
Namarrusa agama
Nasiturui 
Maradianna sara.

Mokai tia marola
Iman di Pmbusuang
Apa tania 
Agamana Nabitta

Artinya:
Muhammadiyah datang
Bermaksud merusak agama
Mereka bekerja sama atau
pemerintah agama

Tidak ingin menyerah
 Imam di Pambusuang
Sebab yang dibawa
Bukan agama dari Nabi

(Waktu itu Muhammadiyah
Dianggap bukan agama yang bersumber dari Nabi).

(Diperoleh dari wawncara Hj. Asia mantu H. Hawu)

Dalam periode berikunya K.H. Zainal Abidin datang kembali di kampung ini menyelenggarakan Majlis Taklim di rumah Ayahnya, H. Kumma yang dikenal sebagai penerima Muhammadiyah pertama di kampung ini. Beliau termasuk orang pertama siswa Normal Islam di Majene, di sinilah dia menerima Muhamadiyah karena di antara gurunya adalah dari anggota Muhammadiyah. Kedatangan Muhammadiyah di Pambusuang, ternyata diprotes oleh Annagguru Syekh Yasin al-Mandary (Annangguru Kacing) beliau setelah itu ke Mekah jadi warga negara Saudi dan beliau dipercaya memberi pengajian di Masjid Haram. Menurut wawancara dengan keluarga bahwa kepergian ke Saudi karena perbedaan paham tarekat dengan salah seorang tokoh di kampung. Jadi dahulu seakan tidak boleh ada perbedaan pendapat, berbeda adalah salah dan dianggap kafir. Perbedaan semacam ini, gtngan perjalanan waktu mengalami perubahan, tidak setajam lagi dengan beberapa dekade lalu bahkan cenderung saling memahami. Dalam menerima data sejarah saya seialu melewati dua prosedur sbagaimana dianjurkan metode sejarah, yaitu:
1. Mempertanyakan apakah orang ini mampu dan mau memberi data?
2. Selalu mencari second opinion agar data lebih bisa dipercaya.

Kita kembali ke K.H. Zainal Abidin setelah beliau didemo di Pambusuang. Menurut wawancara langsung dengan K.H. Zainal Abidin, menurutnya, "Saya dibawakan keris (Annagguru Kacing)." Kemungkinan sejak saat itulah, tidak pernah lagi Muhammadiyah ke kampung ini. Sampai terjadi periode perubahan, yaitu semakin banyaknya orang terdidik di kampung ini membuat orang tidak lagi banyak memperbincangkan organisasi Muhammadiyah. 

Perbahan itu terjadi bersamaan booming orang pergi sekolah sekitar tahun 1970-an, maka banyak generasi baru yang melanjutkan studi ke Makassar, ada yang lanjut ke Perguruan Tinggi Umum ada pula ke Perguruan Tinggi Agama. Mereka inilah yang pulang dan sekaligus membawa pembaharuan di kampung sehingga perbedaan antara mazhab cendrung untuk tidak setajam dahulu. Mereka berubah saling memahami apalagi interaksi antara firqah di perantauan. Bahkan sekarang ada yang kawin mawin, seperti  iparnya K.H. Muchtat Husein adalah anggota Muhammadiyah. Malah keluarga yang dahulu bertenkar karena perbedaan paham terekat, sekarang sudah menjalin sebuah kelkeuargaan saling kawin-mawin seakan tidak pernah terjadi komplik masa lalu. Saya sendiri sejak keluar dari kampung studi cemdrung memahami perbedaan mazhab atau firqah dalam Islam dan menganggap peristiwa itu sudah masa lalu. Orang yang masih keras menghadapi perbedaan, menurut Quraisy Sihab, orang yang terlambat lahir, maunya ia lahir di awal tahun-40 an atau kurang bergaul, sama dengan orang yang hidup ditempurung, setelah tempurung di buka baru sadar bahwa di atas tempurung masih ada langit. Bahkan sekarang saya menulis sebuah buku tentang fikih perbedaan dengan berpedoman pada, buku ulama besar Mesir. Seorang ulama besar dari Mesir, Direktur Ulama Sedunia. Almarhum Prof. Dr. Syekh Yusuf al Qardawi berkedudukan di Qatar. Setelah bukunya saya bahas. Saya komunikasi dengan Dr. dr. Iqbal Moctar Husein di QatarV agar dipertemukan. Sayang sekali beliau terlanjur dipanggil Allah kehadiratNya sebelum terealisasi pertemuan itu. Beliau berkata bahwa perbedaan adalah sunnatullah dalam rangka fastabiqul khaerat, jika ada orang menghendaki, kita sependapat atau seragam saja. Beliau berpandangan لم يكن و قوعه (Tidak mungkin terjadi dalam realitas) karena bertentangan dengan sunnatullah. Tentang bagaimana pengaruh pendidikan pada diri saya, bisa dibaca pada buku biografi saya.

Wasalam, 
Kompleks GPM. 21 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (3)

By Ahmad M. Sewang

Sejak dahulu dikenal dua tokoh ulama sufi, yaitu K.H. Muhammad Tahir, Imam Lapeo Beliau melanlang buana belajar sampai ke Turki dan beliaulah yang membawa Tarekat Syadziliyah ke Mandar. Ulama Pambusuang lainya yang terkenal adalah K.H. Muhammad Saleh beliau belajar di Arab Saudi berpuluh tahun dan membawa Tarikat Qadiriyah ke Mandar. Anehnya, kedua terekat ini tidak tersebarluas di Pambusuang melainkan di luar Pambusuang, yaitu di Lapeo dan Majene. Kenapa tidak menyebar di Pambusuang? akan diuraikan tersendiri.

Sejalan terbukanya akses untuk studi ke Perguruan tinggi di bidang agama, muncul pula ahli di bidang ini, yaitu Dr. K.H. Mochtar Husein yang dapat dianggap Assabiqunal Awwalun, juga dikenal melahirkan banyak ilmuan seperti Dr. dr. Iqbal Mocntar, sekarang tinggal di kota Daha dan bekerja disana sebagai dokter ahli, Dr. Zainal Arifin Mochtar, ahli tatanagara di UGM, dan Dr. Zulkifli Mochtar yang sekarang kawin dan bermukim di Jepang. Generasi kedua setalah al Sabiqunal Awwalun, yaitu Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A., sedang generasi berikutnya yang sudah menyelesaikan tingkat doktoraknya. Mereka bermunculan kemudian setelah  akses pendidikan semakin bagus, yaitu:
1.DR.MUH.HARAS RASYID
2.DR.UBBADAH M.YASIN
3.DR.SALAHUDDIN 
SOPU
4.DR.DALIF USMAN
5.DR.MALKAN MUHAMMAD ALI
6.DR.HAMZAH AZIZ
7.DR.MABRUR INWAN. 8.DR.RAJAB
9.DR.MUSLIMIN KADIR
10.DR.ASWAD KADIR

Mohon maaf jika ada yang terlupakan ditulis, tidak lain semata-mata bukan karena kesengajaan tetapi karena keterbatasan atau penulis belum tahu. Sejak dahulu banyak orang datang menimbah ilmu di tempat ini. Misalnya H. M. Asyik berasal dan pengusaha Hotel di Makassar merasa bangga pernah belajar di desa ini. Ia pernah menegur seseorang setelah mendengar bacaan Al Qur‘annya, menurutnya "Tidak begitu yang pernah saya terima di Pambusuang," katanya suatu waktu. Apalagi dari daerah sekitar Pambusuang, misalnya dari K.H. Muhammad Idrus yang berasal dari Soreang juga pernah belajar di Pambusuang, beliau jugahijrah dan hijrah ke Polewali guru saya membaca kitab kuning ketika sekolah di Polewali. 

Dari ilmuwan umum di kampung ini termasuk Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H, beliau termasuk keluarga terpelajar dan juga dianggap Assabiqunal Awwalun di desa ini di bidang pengetahuan umum,  saudaranya Dr. Nursiah Lopa SH, Prof. Dr. Tahir Lopa, Dr. Ahmad Lopa, SH. Yang juga dilahirkan di desa ini adalah Prof. Dr. Basi Hasanuddin, nama yang disebut terakhir ini termasuk keluarga berpendidikan, seperti almarhum Prof. Dr. Makmun Hasanuddin, dan Dr. Rahmat Hasanuddin. 

Wasalam,
Kompleks GPM, 20 Maret 2024

AHMAD M. SEWANG || DIASPORA ULAMA MANDAR

FOOTNOTE HISTORIS:
DIASPORA ULAMA MANDAR
By Ahmad M. Sewang 

Kata migrasi berbeda dengan: diaspora. Ensiklopedia mendefinisikan bahwa migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain dalam sebuah negara untuk menetap permanen atau sementara. Sedang diaspora adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain yang melintasi toritorial negara untuk menetap permanen atau bersifat sementara. 

Al-Quran dan hadis memotivasi umat untuk studi terus-menerus dengan meninggalkan tempat melakukan diaspora sampai ke ujung dunia. Dalam Islam studi baru berakhir saat manusia sudah mengakhiri hidupnya di dunia fana. Umat dianjurkan meninggalkan kampung halaman pergi belajar mendalami ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan, dimaksudkan nantinya bisa mencerdaskan dan mencerahkan masyarakatnya jika mereka kembali dari studinya. (Lihat Al Qur‘an)

Agaknya itu pula yang memotivasi banyak ulama Mandar jauh sebelum kemerdekaan meninggalkan kampung halaman bertahun-tahun melakukan diaspora pergi menuntut ilmu pengetahuan dengan menetap permanen atau sementara di negara lain, misalnya:
1. Annangurutta H. Muhammad Tahir, Imam Lapeo, belajar sampai ke Istambul Turki. Di sana beliau menerima tarekat Syaziliah yang kemudian disebarkan di Tana Mandar saat beliau kembali. Beliau berpuluh tahun melakukan migrasi dan bertahun-tahun berdiaspora di Singapura, Mekah, dan Turki.
2. Annangurutta H. Syekh Yasin al-Mandari meninggalkan kampung Pambusuang sejak awal 1940-an pergi belajar agama di tanah suci. Beliau jadi warga negara Saudi dan tidak pernah kembali lagi ke Mandar sampai meninggal dunia di Mekah awal tahun 1980. Saya terkesan ketika ditugaskan mengawas ujian Kopertais di Asadiyah Sengkang. Di sana bertemu AGH Abdullah Maratan, Lc. dan mengkisahkan pada saya bahwa dia banyak menimba ilmu pada Syekh Yasin al-Mandari di Mekah.
3. Syekh Sayyid Hasan Jamalullail melakukan diaspora ke Mekah sejak anak-anak dan orang Mandar menggelarinya sebagai, "Kamus Arab Berjalan." Ia menguasai bahasa Arab secara detail dan megajarkannya ketika kembali dari Mandar. 
4. Dr. Nawawi Yahya, beliau meninggalkan kampug Karama untuk studi di Mesir. Dia adalah doktor pertama orang Mandar di al-Azhar University. Disertasinya menyangkut masalah Zakat yang tebalnya lebih tiga ribu halaman. Ia kawin dengan wanita Mesir. Sejak meninggalkan kampung halaman, hanya sekali kembali ke Karama tahun 1984 dan saat itu pula beliau dipanggil Allah swt. Saya bersyukur karena sempat bertemu ketika kembali ia ke Mandar dan saya mengundangnya ke Majene untuk memberi kuliah umum di Fakultas Syariah IAIN Filial Majene.
5. AGH Muhammad Saleh, ulama yang lama tinggal di tanah suci tafaqqahu fi al-din. Beliau kembali ke tanah air setelah 16 tahun berdiaspora di Mekah dan Madinah. Beliau mendapat syahadah dari Syekh al-Malik dan Tarekat Qadiriyah dari Syekh Habib al-Haddad. Dialah pembawa dan menyebar tarekat Qadiriyah pertama di Tana Mandar.
6. Annangurutta H. Jalaluddin Abdul Gani tinggal berpuluh tahun di Mekah Beliau melakukan diaspora hampir bersamaan waktunya dengan Syekh Yasin al Mandari dan kembali ke Mandar segera serelah proklamasi kemerdekaan RI. Setelah kembali di tana Mandar beliau aktif mengajar dan menyebarkan Islam.
7. Syekh Abdillah el- Mandari melakukan diaspora ke Mekah. Beliau menjadi warga negara Saudi dan menjadi tempat bagi orang Mandar dan Bugis bersyekh ketika mereka melaksanakan ibadah Haji.

Natijah
1. Sesuai perintah al-Quran, mereka berdiaspora berpuluh tahun menuntut ilmu dan setelah kembali ke tanah air, mereka ikut berkontribusi mencerdaskan umat dan menyebarkan Islam.
2. Kebanyakan para ulama Mandar menjadikan tanah suci Mekah sebagai destinasi diaspora menuntut ilmu.
3. Tulisan ini baru sedikit di antara para ulama diaspora Mandar. Saya yakin masih banyak lagi belum terungkap. Tulisan ini sekedar mendorong teman-teman untuk melakukan penelitian mendalam.
4. Saya mengharapkan kiranya dalam waktu dekat segera terealisasi sebuah buku, "Diaspora Manusia Mandar," sebagai legacy untuk generasi masa kini dan masa depan. "Orang besar adalah yang bisa menghargai warisan masa lalunya untuk kehidupan lebih baik di masa depan."

Wassalam,
Cengkareng Jakarta, 17 Desember 2018 direwriting, 27 Febr. 2024

Selasa, 19 Maret 2024

TUNDA TO'DO' PULI I CALO AMMANA WEWANG

TUNDA TO'DO" PULI I Calo' Ammana Wewang kepada Para Kalula' yang beliau rekrut.   

Indi tia batuammu Daeng, Balango Tarrara’na Mandar. Madondonna duambongi anna’ diang pole namarropo-ropo’ petawunna Mandar. Mua’ siruppa’ di sasia’, naupeapparmi sasi Naupepa’disammi tu'u lembong, 

Mua’ siruppa' di galungnga’ nasipettombanganma’ ressa’ namepa’disang di petawung, Mua’ siruppa’ di buttua’, nasiaccuramma’ buttu.

(lnilah prajurit Tuanku, jangkar pantang terbongkar dari Mandar, Besok atau lusa (kapan saja) ada yang mau mendaulat Mandar, Jika hamba bertemu di lautan, maka lautlah tempat pembaringanku, dan berbantal di atas ombak. Jika aku bertemu di sawah, maka aku akan bergelimang di lumpur, dan berbantal di pematang. Jika aku bertemu di gunung, maka aku siap rubuh bersama gunung".

Senin, 18 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (02)

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (2)
by Ahmad M. Sewang

PAMBUSUANG AWALNYA BERKENALAN DENGAN ISLAM KONSERFATIF TRADISIONL

Kampung ini memiliki paham keagamaan yang konservatif tradisional. Konserfatif berarti bersifat mempertahankan keadaan dan tradisional berarti cendrung mempertahankan kebiasaan yang bersifat tradisi. Karena itu pula gerakan keagamaan pertama sampai di tempat ini. Sungguh benar kaidah sejarah bahwa paham agama yang berkembang di sebuah masyarakat ditentukan oleh paham apa yang pertama bersentuhan masyarakat itu;   maka tidak heran jika mereka lebih memilih paham NU yang datang menyusul kemudian. Di akhir tahun 1939-an Paman saya K. H. Muh. Yasin (Annangguru Kacing) seorang yang terpandang ulama di desa ini. Ketika terjadi perbedaan paham tarekat keagamaan dengan seorang tokoh, membuat ia komflik, dampaknya ia berhijrah ke Mekkah dengan menjual semua harta bendanya yang ada di kampung. Beliau beruntung ketika tiba di Mekkah, karena dipercaya memberikan pengajian di Mesjd Haram dan menjadi Syekh bagi jemaah yang menunaikan ibadah haji dari Nusantara. 

Sejak ia meninggalkan tanah air tidak pernah lagi kembali ke kampung sampai ia meninggal dunia tahun 1980. Tulisan  ini menggambarkan bahwa seseorang di kampung ini dianggap sesat jika ada orang lain berbeda pendapat dengannya. Itu juga sebabnya, jika ada paham yang beda dengan yang ada dianggapnya sesat, dapat dipahami jika paham di desa ini bersifat ho.ogen, yaitu konvensional tradisionalis yang akan dikemukakan pada uraian berikutnya.

Sekitar tahun 1983 saya mendapat tugas dari IAIN Alauddin ke Perguruan Asadiyah Sengkang untuk mengawas ujian Kopertais. Di sana saya bertemu dengan dosen senior, Abdullah Maratan. Beliau berkisah tentang pengalaman pribadinya ketika di Mekkah bahwa yang mengajar mengaji di Masjid Haram adalah Syekh Muhammad Yasin al Mandary. Penilitian ini berusaha menyampaikan seobjektif mungkin tanpak memihak kepada satu paham atau firqah keagamaan. Saya pun sedang berusaha melakukan redepinisi muslim berdasarkan pengalaman rihlah di lima benua dan bertemu berbagai tokoh dari berbagai paham keagamaan. Yaitu seorang muslim jika ia sudah bersyahadat dengan tulus berdasarkan Alquran dan Hadis; itu adalah saudara kita sesama muslim yang wajib di cintai. Mungkin ada yang tidak senang pada pandangan seperti ini, tetapi merasa saya sudah tidak lagi butuh pujian seseorang. Saya sekarang berpandangan biarlah banyak orang benci asal Allah dan Rasulnya tetap mencintai.

Wasalam,
Kompleks GPM, 19 Maret 2024

Minggu, 17 Maret 2024

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (01)

DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH (1)
by Ahmad M. Sewang 

Pendekatan antropologi sejarah adalah upaya memahami suatu masyarakat dengan memperhatikan wujud praktek keagamaan dalam sebuah  perkembangan. Motivasi yang mendorong penulis meneliti desa ini adalah ketika mendengar pernyataan seorang dosen UNM di sebuah pertemuan bahwa Desa Pambusuang yang berpenduduk sedikit tetapi terbanyak memproduksi ulama dan ilmuan di Sulawesi Barat. Mendengar itu saya mulai mengumpulkan peristiwa-pristiwa penting dalam sejarah desa ini. Hasilnya saya kirim ke beberapa tokoh dan WA untuk dikritisi. Dengan tujuan yang sama kita rencanakan untuk merencanakan seminar di desa ini setelah lebaran nanti dengan mengundang mereka yang sementara studi atau bekerja di  luar. Saya sadar seperti ungkapan Imam Syafii, "Semakin banyak saya tahu, semakin banyak yang saya tidak tahu." Mengingat ilmu Tuhan begitu luas, sedang umur manusia terbatas(Lihat QS al Kahfi 109).
Desa Pambusuang  berada di Kabupaten Polman, Provinsi Sulawesi Barat km 286 sebelah utara kota Makassar. Desa ini terbelah dua oleh jalan poros yang membentang di tengah dari Timur ibu kota kabupaten Polewali menuju Barat ke kota Majene. Di sebelah utara desa terbentang gunung yang disebut gunung Lego dan di sebelah selatan terdapat teluk yang disebut teluk Mandar. Menurut salah seorang guru Pesantren, Ilham Sopu bahwa jumlah murid ibtidaiyah, Stanawiyah, dan Aliyah yang tergabung dalam Pesantren Nuhiyah sekitar400 murid. 

Ulama pertama kali yang menyebarkan Islam dan mermelahirkan banyak ulama dari generasi ke generasi adalah KH Muhammad Nuh yang diperkirakan lahir pada abad ke-19. Karena itu namanya diabadikan dalam bentuk lembaga pesantren bernama Pesantren Nuhiyah.
Dari KH Muhammad Nuh kemudian memunculkan generasi berikunya, yaitu K. H. Muhammad Tahir (Imam Lapeo), selanjutnya generasi K. H. Sahabuddin (Annangguru Hawu), K. H. Muh. Yasin (Annangguru Kacing), K. H. Muh. Alwi (Annangguru Kaiyyang), kemudian generasi K. H. Muhammad Saleh, K. H. Abd. Galib (Annangguru Gale), K. H. Abd Hafid, K. H. Ismail, K.H. Sayyid Thaha, K.H. Abd. Hadi, KH. Muh. Said, K. H. Abdullah dan K. H. Abd. Rasyid (Imam Sawang). Para generasi di atas, kemudian disusul generasi berikunya, yaitu
Generasi K. H. Muh. Yasin, K. H. Abdurrahman, K.H. Syauqaddin dan K. H. Muh. Alwi. Kemudian lahir generasi  terakhir sebagai pembina pengajian di Pambusuang sekarang, di antaranya K. H. Muh. Bisri Jinis (pengasuh pondok pesantren Nuhiyah sekarang), KH. Abd. Syahid Rasyid (Ketua MUI Polman/pengaruh pondok pesantren Jare'je Pambusuang), K. H. Muhasib Kamaluddin dan K. H. Herman Aziz. Generasi terakhir ini, mereka tdak lagi berguru langsung secara fisik pada generasi ulama  di atas (KH. Hafid)

Generasi sekarang yang konsen pada pengajian dan pendalaman nahwu sharaf yang langsung  pada praktik pengajian kitab kuning secara terus menerus setiap hari dalam bentuk halakah adalah KH Syahid Rasyid. Di samping Pesantren Nuhiyah yang pengasuhnya melakukan pengajian kitab kuning di masjid Jsmi' Pambusuang, maka dapat diprediksi masa depan akan banyak melahirkn ulama. Bahkan informasi yg didapatkan, generasi santri muda di Pambusuang (khususnya di ponpes Jare'je) sudah biasa dalam pengajian membaca kitab-kitab standar atau kitab kuning yang lain. Perlu diketahui, setiap bulan suci Ramadhan, Pambusuang didatangi para santri musiman
belajar nahwu saraf selama satu bulan Ramadhan dari berbagi daerah di Suawesi Selatan dan Barat.

Setelah mencoba meneliti secara sambil lalu desa ini, mulai saya rethinking bahwa andai belum doktor, saya akan jadikan desa ini sebagai objek penelitian karena begitu menarik tentang potensi sumber daya insan yang dimiliki desa ini. Saya berdoa semoga ada generasi baru bisa melanjutkannya dalam bentuk penelitian disertasi, saya meneliti Islamisasi Gowa ketika dapat kesempatan riset selama setahun di Leiden University karena belum melihat ada penelitian yang menarik di Mandar. Itu juga alasan untuk menyebarkan tulisan in agar ada mahasiswa doktoral menelitinya. Sekali lagi bahwa saya merasa gembira jika ada generasi baru menjadikan desa ini sebagai objek peneletian disertasi, selain itu saya harap pada pembaca yang ingin para netizen menkritisinya nanti setela selesai semua ditelaah, berhubung karena tulisan ini berseri. Jadi alangkah sempurnanya jika nanti selesai  semua dibaca, baru dikritisi. Saya bereharap setelah sekesai lebaran saya mengundang turun ke Pambusuang untuk seminar tentang sejarah desa ini   dengan mengharapkan seluruh terpelajar penduduk hadir pada seminar nanti di desa ini. Sebagai orang yang lahir di desa ini, maka saya telah menulis biografi dan auto biografi pribadi yang diharapkan sebagai bahan yang bisa melengkapi⁰⁰ para peneliti yang berminat nanti. (Bersambung)

Wasalam,
Komleks GFM,  18 Maret 20240

Minggu, 10 Maret 2024

MANDAR DALAM BUKU BUMI SRIWIJAYA

Buku Bumi Sriwijaya adalah epos sejarah yang ditulis oleh Bagus Dilla, seorang penulis jebolan Pesantren Madrasatul Qur'an Tebuireng Jombang Jawa Timur. Buku setebal 483 ini terbit pada tahun 2010 lewat Pwnerbit Diva Press Jogyakarta. 

Sebagaimana kita ketahui, Sriwijaya adalah imperium besar meski tak tercatat dengan baik dalam torehan sejarah sebagaimana Imperium Persia, Romawi, Mesir, Arab, Cina dan India. Kebesaran Sriwijaya hanya sebentuk serpihan serpihan kecil yang perlu direka dan dibentuk. 

Terlepas dari itu, Kerajaan Sriwijaya tentu harus diakui sebagai sebuah kerajaan besar sebelum Majapahit. Kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kaimantan hingga Sulawesi (?). 

Hal menarik dari buku ini adalah pengakuan penulis yang bisa jadi tak tahu dimana itu Mandar, tapi dengan kekuatan literatur atau sumber valid menyebut Mandar pada bagian 40 segmen Perang di Binaga halaman 261 sebagai berikut:
"..... Kita tidak perlu gegabah. Kekuatan kita lebih unggul dari sisi pertahanan. Aku rasa, mereka akan kesulitan menembus pertahanan kita. Kita telah meminta bantuan dari keluarga Kanpi yang masih belum tunduk kepada Jagadhita. Para perompak di perairan Seilan, Mandar, Banjar, Langkasuka, Dharmanagari, Pan Pan, Gangga Negara, Dwarawati, Chaiya, Kambonyanyat dan Syangka....... "

Sebagai novel atau epos, tentu saja ini tidak mesti dipahami sebagai bentuk karangan bebas. Penulisnya tentu tak akan seberani itu mereka-reka peristiwa kendati hal tersebut halal dalam wilayah susastra. Karya sastra juga tak etis dimaknai sebagai sebentuk narasi yang mengakumulasi kebohongan belaka. 

Dunia kesusastraan hari ini adalah pola penulis untuk mengawali sebuah obyek cerita sebelum serpihan serpihan cerita itu direkonstruksi dalam buku karya sejarah. Karya sastra dianggap lebih maju karena mementingkan isi daripada bentuk. Sastra dianggap sebagai sugesti untuk memberi semangat mencari jalan baru bagi sebuah peradaban dalam membangkitkan semangat bangsa. 

Sebagaimana Bagus Dilla mengaukui bahwa karyanya itu merupakan orientasi susastra dengan sedikit balutan sejarah. Novel Bumi Sriwijaya adalah sebentuk upaya pengayaan cerita dan budaya yang tidak terlalu ambisius dan prestisius, kecuali hanya mengingat-ingat masa lampau yang nyaris tak terbentuk (hal.6). 

Jumat, 08 Maret 2024

MENGENAL TANAH LUWU


Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Kerajaan Mori[1], Kabupaten Morowali Utara, (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Tanah Mori[2], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:

Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

Kerajaan Mori[3] (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

Onder Afdeling Palopo, dengan ibu kotanya Palopo.
Onder Afdeling Makale, dengan ibu kotanya Makale.
Onder Afdeling Masamba, dengan ibu kotanya Masamba.
Onder Afdeling Malili, dengan ibu kotanya Malili.
Onder Afdeling Mekongga, dengan ibu kotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak mengubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi Jemma".

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasa dia terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum dia wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain:

Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar.
Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:

Kewedanaan Palopo
Kewedanaan Masamba dan
Kewedanaan Malili
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Provinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:

Wara
Larompong
Suli
Bajo
Bupon
Bastem
Walenrang(Batusitanduk)
Limbong
Sabbang
Malangke
Masamba
Bone-Bone
Wotu
Mangkutana
Malili
Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Provinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas provinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Provinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar provinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Provinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah provinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor: SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
Kecamatan Lamasi
Kecamatan Walenrang
Kecamatan Pembantu Telluwanua
Kecamatan Warautara
Kecamatan Wara
Kecamatan Pembantu Wara Selatan
Kecamatan Bua
Kecamatan Pembantu Ponrang
Kecamatan Bupon
Kecamatan Bastem
Kecamatan Pembantu Latimojong
Kecamatan Bajo
Kecamatan Belopa
Kecamatan Suli
Kecamatan Larompong
Kecamatan Pembantu Larompong Selatan

Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:

Kecamatan Sabbang
Kecamatan Pembantu Baebunta
Kecamatan Limbong
Kecamatan Pembantu Seko
Kecamatan Malangke
Kecamatan Malangke Barat
Kecamatan Masamba
Kecamatan Pembantu Mappedeceng
Kecamatan Pembantu Rampi
Kecamatan Sukamaju
Kecamatan Bone-Bone
Kecamatan Pembantu Burau
Kecamatan Wotu
Kecamatan Pembantu Tomoni
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Pembantu Angkona
Kecamatan Malili
Kecamatan Nuha
Kecamatan Pembantu Towuti

Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:

Kecamatan Wara
Kecamatan Wara Utara
Kecamatan Wara Selatan
Kecamatan Telluwanua
Kecamatan Wara Timur
Kecamatan Wara Barat
Kecamatan Mungkajang
Kecamatan Bara
Kecamatan Sendana

Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:

Kecamatan Angkona
Kecamatan Burau
Kecamatan Malili
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Nuha
Kecamatan Wasuponda
Kecamatan Tomoni
Kecamatan Tomoni Utara
Kecamatan Towuti
Kecamatan Wotu

Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:

Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2. 

Sumber: Grup FB Sejarah Nusantara

MENGENAL SUKU MAKKI DI SULAWESI BARAT


Suku Makki di jantung pulau Sulawesi, bukanlah penduduk terbelakng tetapi penduduk yang sangat tertinggal. Populasinya yang sedikit menyebabkan upaya mereka mengejar kemajuan sangat lambat. Wilayah geografis suku Makki yang benar-benar berada di pedalaman, jantung pulau Sulawesi sangat tergantung pada penduduk orang Toraja, orang Mamasa, orang Mamuju dan orang Seko yang memiliki akses ke dunia luar.

Wilayah provinsi Sulawesi Selatan terdiri banyak suku, populasi yang terbanyak adalah Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Pada tahun 2004 provinsi Sulawesi Selatan dimekarkan dengan membentuk provinsi Sulawesi Barat yang kini terdiri dari enam kabupaten (Mandar, Majene, Mamasa, Mamuju, Mamuju Tengah dan Pasangkayu). Suku-suku yang terdapat di provinsi Sulawesi Barat cukup banyak. Populasi terbanyak adalah Mandar (49,15%), Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan suku lainnya (19,15%). Suku-suku lainnya yang populasinya sedikit antara lain Mamasa dan Mamuju. Populasi yang lebih sedikit diantaranya Baras, Benggaulu dan Makki. Wilayah penduduk Makki ini berada di lereng gunung Gondangdewata yang juga berbatasan dengan suku Seko.

Lantas bagaimana sejarah suku Makki di jantung pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas keberadaan penduduk Makki kurang terinformasikan. Hal itu karena populasinya yang sedikit dan berada diantara suku-suku yang populasinya lebih banyak. Posisi GPS yang berada di pedalaman menyebabkan penduduk Makki kurang mendapat akses. Lalu bagaimana sejarah suku Makki yang sebenarnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Makki: Suku Berbeda dengan Suku Toraja

Suku Makki tinggal di NW Toraja. Itu yang dikatakan seorang peneliti yang hasil laporannya disarikan dan dimuat pada surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 09-04-1908. Besar dugaan bahwa peneliti ini adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah Makki. Peneliti ini juga, seperti pengakuannya, adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah Toraja di pedalaman.

Peneliti ini juga di dalam artikel-artiekelnya mengomentarasi tulisan-tulisan Kruijt dan Adriani. Sebagaimana diketahui Adriani seorang ahli bahasa dan Kruijt seorang misionaris sudah lama di (wilayah) Poso. Mereka berdua pernah menulis tenytang Toraja. Dari artikel peneliti di Toraja ini terkesan Adriani dan Kruijt belum pernah berkunjung ke pedalaman Toraja, mereka berdua hanya mendasarkarkan tulisan mereka dari keterangan dan informasi yang dikumpulkan di wilayah pantai (di luar wilayah asli penduduk Toraja). Sebagaimana diketahui dari tulisan Kruijt tentang wilayah Napu pada artikel sebelum ini bahwa orang Toraja juga ada yang berbahasa Bare’e dan tinggal di sekitar danau Poso. Orang-orang Toraja di pedalaman ada juga yang melakukan perdagangan ke wilayah utara hingga teluk Tomini di Mapale atau Poso. Dari orang-orang Toraja berbahasa Bare’e (Pamona) inilah diduga kuat Adriani dan Kruijt menulis tentang penduduk (suku) Toraja secara keseluruhan.   

Peneliti ini menyebutkan bahwa di pedalaman tidak semuanya orang Toaraja. Peneliti ini menyebut satu diantaranya yakni penduduk Makki, meski populasinya sedikit tetapi memiliki bahasa dan budaya sendiri (yang berbeda dengan bahasa Toraja). Peneliti ini ingin menyatakan bahwa di pedalaman cukup banyak penduduk dengan populasi kecil, tidak hanya To Makki, juga ada To Bela, To Bare dan to yang lainnya. Orang To Makki disebutnya berada di luar (wilayah perbatasa) Toraja (sebagaimana juga To Mamasa). Catatan: pada artikel sebelumnya tentang To Mamasa sudah dideskripsikan.

Secara adnminstratif, pemerintah Hindia Belanda memasukkan wilayah Tana Toraja dan Toraja Tengah (selatan) ke dalam wilayah administratif (Afdeeling) Loewoe. Sementara Mamasa dimasukkan ke wilayah (afdeeling) Mandar. Lalu bagaimana dengan To Makki? Suatu wilayah, yang berada tepat di antara wilayah Afdeeling Mandar di barat, afdeeling Loewoe di timur dan selatan dan afdeeling Midden Celebes di utara. Donggala (Paloe) dan Poso adalah dua onderafdeeeling di Afdeeling Midden Celebes. Jadi, wilayah Makki tidak benar-benar berada di tengah wilayah orang Toraja, orang Mamuju maupun orang (to) lainnya.

Untuk dapat mencapai (wilayah) Makki dapat (mungkin satu-satunya) harus melalui Baroefoe. Jarak antara Barupu dengan wilayah Makki sekitar tiga hari perjalanan melalui jalan basah, dingin dan sangat sepi (dari penduduk). Di sepanjang jalan setapak yang dilalui banyak ditemukan tempat penduduk Barupu yang pada waktu tempo doeloe melarikan diri ke Makki pada saat mana dikenal seorang tokoh bernama Poeang Tikoe. Wilayah Makki adalah sebuah lanskap pegunungan yang berumput dan berhutan rendah dengan jurang dan jurang, yang dipenuhi dengan jurang-jurang yang dalam yang berbahaya.

Perkampongan orang To Makki tersebar. Penduduk jauh dari pemalu dan jauh dari liar, Penduduk Makki menurut peneliti adalah orang yang sangat jinak, baik hati dan damai, yang sangat jinak dalam fisik, pakaian dan bahasa, Penduduk Makki memiliki banyak kesamaan dengan orang Toraja. Dalam perjalanan peneliti, yang belum jauh meninggalkan wilayah Tioraja dalam beberapa jam berjalan kaki, penduduk Makki sudah terlihat berbeda adat dan kebiasaan dengan suku Toraja. Hal itu peneliti berani mengatakan bahwa suku Makki sangat berbeda dari suku Toraja (Bagaimana suku Toraja akan dibuat artikel tersendiri).

Orang Makki berbeda dengan orang Toraja, Orang Makki lebih tenang yang dalam kehidupan mereka tidak ada tarian tetapi ada nyanyian. Jika ada yang meninggal ada penyanyi tertentu dan kemudian menampilkan seni mereka, jika perlu sepanjang hari. Tempo nyanyian To Makki sangat lambat dan bukan tempo cepat seperti di tempat lain. Dua penyanyi yang dilihat peneliti duduk bersebelahan dan bernyanyi tanpa lelah selama berjam-jam memainkan repertoar mereka yang menghantui, termasuk lagu dua bagian yang sangat melankolis yang jauh dari jelek.

Di Makki juga tidak terdapat festival panen. Penduduk Makki terbilang kurang banyak dalam hal festival. Penduduk Makki hidup hampir secara eksklusif dari budidaya djagoeng, meski juga terdapat ladangrrjst (padi ladang).Tidak ditemukanm perikanan ikan mas, babi hutan sangat jarang dan dapat diperoleh dengan jalan berburu. Penduduk Makki sangat piawai melempar senjata. Penduduk Makki tidak memiliki senjata perang, karena menurut penduduk sejauh ini belum ada orang Bugis yang sampai sejauh Makki. Para penduduk menyatakan tidak khawatir jika ada serangan musuh dari tetangga, karena mereka akan segera melarikan diri ke dalam hutan dan pada saat yang tepat akan melakukan pengepungan. Peneliti juga tidak menemukan hasil jarahan diantara penduduk (yang mengindikasikan mereka berperilaku baik dan ingin damai).



 =========
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Kamis, 07 Maret 2024

IMAM TANDUNG (1912-1992) Dalam Narasi Sejarah Pergolakan Antara DI/TII dengan Bn.710

Reportase: Muhammad Munir

IMAM TANDUNG atau KH. MUHAMMAD QASIM adalah salah satu tokoh agama dan pemerhati pendidikan. Selain dikenal sebagai Imam Tandung, Gelaran sebagai Imam Tandung begitu lekat padahal ia tak hanya di Tandung menjadi imam, tapi juga ditempat lain seperti di Rea Barat, Imam di Jalan Cendrawasih dan juga imam di Masjid Al-Anwar selama 36 tahun (wawancara dengan Haidir Ramli dan Nurmiati, 2022). 

Berdasarkan dokumen resminya, Imam Tandung lahir di Mandar pada tahun 1912 dan wafat pada tanggal 4 Mei 1992 dirumah kediaman istrinya yang kedua di Jalan Sila-sila Lampa Mapilli. Ia wafat pada saat selesai shalat shubuh. Saat itu, ia baru saja menyelesaikan sholat shubuh. Ia duduk di sebuah kursi dan meminta kepada keluarganya agar mengambil kambing yang ada di kompleks pesantren DHI. Kambing tersebut ia minta agar dipotong. Setelah kambing selesai di potong, ia mengucapkan kalimat tauhid dan menghadap Tuhan-Nya dalam kondisi terduduk.

Tak banyak yang tahu tentang asal usul dan masa kecil Imam Tandung. Nama lengkapnya pun jarang yang pernah menyebut selain gelarannya sebagai Imam Tandung. Pada saat menjadi Imam Tandung, ia dijemput oleh gerombolan pasukan DI/TII (Darul Islam/Tentara Nasional Indonesia) untuk dibawa ke hutan. Menurut putrinya, ia tidak diculik tapi ia dijemput untuk dibawa ke hutan. (Wawancara dengan Dahariah, 80 tahun).  Versi lain menyebut ia diculik dan dibawa masuk ke hutan untuk menjadi hakim pengadilan dan membimbing masyarakat guna memahami agama secara paripurna. 

Pada saat pemberontakan DI/TII digulingkan oleh Qahar Mudzakkar, penculikan para ulama dam guru-guru marak terjadi. KH. Abdul Rahman Ambo Dalle juga pernah diculik dan dibawa ke hutan. Di Mandar, penculikan ulama juga terjadi pada KH. Muhammad Qasim (Imam Tandung), KH. Muhammadiyah di Bonde Campalagian serta KH. Umar Mappeabang (saat masih bertugas menjadi guru di MI DDI Lapeo). Para ulama tersebut dibawa masuk ke hutan untuk menjadi penganjur islam dan sebagian dijadikan hakim agama di pengadilan. 

Pada tahun 1953, Konferensi Pombijagi digelar dan menandai masuknya gerakan DI/TII di Mandar. Organisasi bentukan Qahar Mudzakkar tersebut dideklarasikan di Mandar melalui Sunusi Tande dan MT. Rahmat. Sejak itu, Imam Tandung tak lagi terdengar namanya sampai kemudian Gerombolan DI/TII ditumpas. Ia ikut sama anaknya yang bernama Amin Rante (tentara) di Makassar dan sempat jadi imam masjid di Cendrawasih Makassar. Setelah dari Makassar, ia sempat menjadi imam di Masjid Rea Polewali.

Selasa, 05 Maret 2024

Hj. Sitti Maemunah ||Guru Pejuang Dari Majene



Catatan Muhammad Munir

HJ. SITTI MAEMUNAH adalah seorang Pempimpin Kelaskaran GAPRI 5.3.1 (Gabungan Pemberontak Republik Indonesia Kode 5.3.1) yang berpusat di Baruga, Majene. Pada tahun 1916, ketika cengkraman Hindia Belanda benar benar menikam pribumi. Di bumi Baruga, sepasang siami istri bernama Muhamnad Saleh dan Habiba hidup memadu kasih dan melahirkan sosok bayi perempuan yang mereka beri nama Sitti Maemunah.
Keduanya mungkin tak akan pernah berfikir dan bermimpi bahwa kelak anak petempuannya itu akan tumbuh dan berkembang menjadi tokoh perempuan pendidik dan tokoh pejuang yang mampu mengorganisir organisasi besar sekelas GAPRI 5.3 1.

Maemunah kecil tumbuh dan berkembang di Kampung Baruga. Ia hidup di antara rindang pohon dan dinginnya malam. Ia hidup dalam bimbingan orangtua dan lingkungan yang taat beragama, sehingga kelak sosok Maemunah dikenal sebagai wanita salehah, sebagai guru dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah.

Sisi kehidupan Maemunah sesungguhnya tidak terhitung mujur, sebab ketika masih berumur 6 tahunan ia harus kehilangan sosok ibu yang penyayang. Praktis kematian sang Ibu membuat Maemunah harus lebih banyak belajar menjadi sosok ibu bagi kedua adiknya yang bernama Bahria dan Nurdin. Melihat kondisi anak-anaknya yang masih membutuhkan peran seorang ibu, Muhammad Saleh kemudian memutuskan untuk  menikah kembali dengan wanita bernama Sohora. Dari pernikahan ini, dikaruniai 2 orang putra bernama Mabrur dan Abrar, keduanya berdomisili di Makassar.
Dalam kehidupan keluarga Maemunah, pendidikan Islam menjadi hal utama yang harus ditanamkan. Termasuk pendidikan nonformal berupa adat istiadat yang berlaku di masyarakat Mandar. Inilah yang kemudian menjadikan Maemunah dikenal sebagai anak yang shalehah, taat beribadah dan pemberani. Karakter pemberani ini boleh jadi karena ia anak petama dari lima bersaudara. Selain itu Maemuna selalu bersikap hati-hati dalam bertindak karena dia adalah panutan terhadap keempat adiknya.
Pada tahun 1928, ketika usia Maemunah menginjak 12 tahun, ia mulai mengenal sekolah formal, yaitu Sekolah Dasar 6 tahun di Majene. Selanjutnya ia mengambil  pendidikan guru selama 2 tahun di tempat yang sama. Hingga pada tahun 1937, Maemunah kemudian melanjutkan ke CVO untuk mendidik tenaga-tenaga guru dan terangkat sebagai Kepala Sekolah Ba’babulo dari tahun 1937-1953.

Setiap selesai shalat subuh, Maemunah selalu bersiap untuk berangkat ke sekolah dengan perjalanan yang sangat panjang dan penuh resiko karena pada saat itu keamanan belum stabil apalagi seorang wanita yang rentan dengan kejahatan.
Tiga tahun menjadi Kepala Sekolah, pada tahun 1940 Mamunah menikah dengan pemuda bernama Muh. Jud Pance, seorang guru dari tanah Bugis. Pernikahan keduanya dilangsungkan di Deteng-Deteng, Majene. Sayang sekali, pernikahan mereka tak dikaruniai anak.

Pemikiran Maemunah pada saat itu bisa dikatakan telah melebihi pemikiran dari teman-teman sebayanya. Maemaunah memiliki pemikiran nasionalisme yang luas yang mengakibatkan dia ikut dalam beberapa diskusi organisasi kemerdekaan. Jiwa nasionalisme yang kuat memanggilnya untuk turut serta melawan para penjajah.
Keberadaan Maemunah dalam perkembangan sejarah perjuangan di Mandar sangat signifikan karena Maemunah berhasil membawa Kelaskaran GAPRI 5.3.1 menjadi salah satu kelaskaran yang sangat dibenci oleh Tentara Belanda pada saat itu. Maemunah dalam Kelaskaran GAPRI 5.3.1 bertugas untuk mengatur strategi perjuangan agar terorganisir dalam melaksanakan setiap aksinya. Rumahnya juga dijadikan sebagai markas besar yang menjadi pusat untuk mengatur stategi dan sebagai tempat bagi para pasukan beristirahat.

 Maemunah menjadi garda terdepan dalam melawan (praktik kolonialisme baru, khususnya di daerah Mandar). Melalui organisasi ini, GAPRI 5.3.1 melakukan berbagai persiapan, baik proses pengumpulan atau penyeleksian anggota, hingga proses penyediaan alat-alat persenjataan perang. Sebagai upaya untuk melengkapi berbagai kebutuhan yang diperlukan, maka GAPRI 5.3.1 melakukan hubungan dengan pihak-pihak tertentu di Balikpapan dan beberapa daerah lain di Indonesia untuk mendapatkan alat-alat persenjataan perang. Selain itu, pembinaan atau pelatihan kemiliteran juga menjadi agenda penting dalam proses penyelenggaraan persiapan perang itu sendiri. 

Dalam upaya untuk mempersiapkan segala kebutuhan perjuangan, GAPRI 5.3.1 lebih bertumpu pada pendanaan pribadi dari Maemunah dan Djud Pance. Kendati demikian, pendanaan juga terbuka bagi pihak luar yang ingin memberikan sumbangsi kepada organisasi perjuangan itu. Dengan demikian, perjuangan GAPRI 5.3.1 dapat dimaknai sebagai wujud kongkrit dari bentuk nasionalisme rakyat Mandar. Masyarakat Mandar tidak pernah berpikir tentang siapa yang membantu, siapa yang mampu membantu perjuagan itu.

Pada sekitar bulan April dan Mei 1945, Soekarno bersama rombongannya mendatangi Kota Makassar untuk memberikan dorongan kepada berbagai pihak serta mempersiapkan diri dalam rangka menyambut sebuah negara baru yang bebas dari bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme asing. Kedatangan Soekarno di Kota Makassar seolah memberi sinyalemen bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan berdaulat, sehingga mampu berdiri sama tinggi, duduk sarna rendah dengan negara-negara lain yang berdaulat. Bagi masyarakat yang ada di Sulawesi, Inilah isyarat awal bahwa akan muncul sebentar lagi sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Tidak berselang lama dari kedatangan Soekarno di Kota Makassar, sebuah negara baru berdiri dan secara resmi diproklamirkan pada Tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menandai bahwa Indonesia sebagai sebuah negara secara de facto telah merdeka. Informasi tentang proklamasi yang disebarkan melalui radio ditangkap oleh seluruh rakyat Indonesia, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pada saat pembacaan proklamasi di Jakarta, beberapa Wilayah di Indonesia juga tidak sedikit yang belum mengetahui, sehingga pekik kemerdekaan belum sepenuhnya bergema. 
Seperti halnya di Mandar, pada saat pembacaan proklamasi kemerdekaan, di wilayah ini masih mengalami penjajahan. Selang beberapa hari pasca pembacaan proklamasi di Jakarta, informasi tentang kemerdekaan Indonesia akhirnya sampai juga di Mandar. Para pemuda Mandar yang mendapatkan informasi itu melalui siaran radio amatir. Informasi yang didengarkan itu disebarkan ke beberapa pihak yang dianggap mampu memberikan dorongan dalam proses penyambutan terbentuknya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Sepasang suami istri yang saat itu berstatus sebagai Kepala Sekolah Dasar Ba'babulo I dan II, Djud Pance dan Maemunah juga mendengar informasi tersebut melalui radio amatir yang dimiliki. Atas informasi itu, mereka mencoba menata hati secara baik-baik untuk kemudian merundingkan tentang perihal apa yang akan dilakukan dalam menyikapi proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. 

Setelah beberapa saat melakukan perundingan terkait langkah-langkah apa yang akan dilakukan, keduanya kemudian memutuskan untuk bersama-sama terjun ke lapangan, dari Ba'babulo ke kampung halamannya di Baruga yang berjarak + 12 Km. Di Baruga, kedua guru ini membagi informasi tentang kemerdekaan itu kepada beberapa keluarganya terlebih dahulu kemudian disebarkan kepada masyarakat sekitar. 
Di tempat lain, informasi mengenai kabar yang menggembirakan itu ternyata juga telah diterima oleh para pemuda di Majene. Beberapa pemuda yang telah mendengar informasi tentang proklamasi itu secara sigap menyebarluaskan  informasi itu secara cepat kepada masyarakat. Tidak berselang lama, beberapa pemuda seperti Abd. Wahab Anas, Abdul  Halim, AE, Mallewa, Sawawy, dll., secara cepat berkeliling di jalan raya sembari mendengungkan pekik kemerdekaan.

Masyarakat yang melihat dan mendengar pekikan mereka itu akhirnya ikut bergabung dalam iring-iringan yang telah dibuat sebelumnya. Suasana menjadi semakin ramai dan penuh kemenangan. Kendati masih terdapat beberapa pihak masyarakat yang masih belum sepenuhnya memahami tentang ada apakah gerangan, ada juga yang cenderung pasif dan tak sedikit pula yang bertindak sebagai penonton. 
Pekik kemerdekaan terus bergema khususnya di Baruga dan di Kota Majene. Beberapa pihak saling berunding untuk membahas apa yang harus dilakukan dalam menyambut hari baik itu. Djud Pance yang selalu didampingi oleh isteri setianya, Maemunah, membangun komunikasi dengan HM. Syarif yang saat itu masih menjadi ketua organisasi sosial kemasyarakatan Persatuan Rakyat Mandar (PRAMA) yang berada di Baruga. Dalam pertemuannya itu menghasilkan sebuah keputusan untuk menggunakan organisasi itu sebagai wadah perjuangan dalam rangka menyambut dan menyusun berbagai strategi untuk merealisasikan janji proklamasi. Beberapa langkah kongkrit yang akhirnya direalisasikan adalah merubah nama organisasi PRAMA menjadi Perjuangan Masyarakat Indonesia (PERMAI) pada Tanggal 24 Agustus 1945. 

Itulah langkah awal perjuangan rakyat Baruga dalam menyambut kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Perubahan nama PRAMA menjadi PERMAI yang dilakukan oleh Djud Pance, Maemunah, dan HM. Syarif dapat dipahami sebagai proses penting dalam rangka menciptakan sebuah identitas kebangsaan baru. Artinya, perubahan identitas PRAMA yang semula masih bersifat kedaerahan menjadi PERMAI yang mencirikan sebuah identitas baru yang bersifat keindonesiaan. Mereka terbayang tentang konsep keindonesiaan, sehingga mereka secara sadar menaikkan status terhadap identitas yang sebelumnya bersifat primordial menjadi plural dan multikultur, bukan bangsa Mandar, melainkan Bangsa Indonesia. 

Pasca perubahan terhadap identitas organisasi tersebut, proses selanjutnya adalah menyusun rencana strategi perjuangan. Rencana setrategi yang disusun dalam organisasi PERMAI dibagi menjadi dua bagian. Pertama, menjelaskan bahwa PERMAI merupakan sebuah organisasi sosial, ekonomi, dan budaya yang secara spesifik berada di Baruga. Fungsi organisasi yang demikian diperankan oleh H. Muh, Syarif. Kedua, menjelaskan bahwa PERMAI memiliki underbow bernama GAPRI 5.3.1, yang secara penuh menjadi penyokong terhadap kelembagaan PERMAI melalui sistem keagenan yang bersifat rahasia. 

Identitas rahasia dalam hal ini dimaksudkan apabila terjadi segala sesuatu terkait dengan perubahan situasi, maka organisasi tetap dapat berjalan. Organisasi pergerakan GAPRI 5.3.1, dikelola dan dijalankan oleh dua sejoli Djud Pance dan Sitti Maemunah.
Berpijak dalam suatu organisasi Kelasykaran, Maemunah memulai kehidupan politisnya yang tentu mengandung resiko sehubungan dengan makin meluasnya pengaruh NICA di daerah Majene. Dalam kegiatan GAPRI 5.3.1, Maemunah mengorganisasikan para pejuang, baik dalam latihan kemiliteran, persediaan makanan, persediaan senjata maupun turun langsung ke medan pertempuran melawan Belanda. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, ia bergabung dengan pemuda lainnya dalam melawan Belanda dan berusaha menghimpun kaum wanita diantaranya Sitti Habibah, Sitti Fatimah, Jaizah, Hadara, Sitti Maryam, dan lain-lain.

Beberapa petempuran hebat terjadi antara pihak Belanda dengan Pejuang GAPRI diantaranya:
(1) April 1946 pasukan GAPRI 5.3.1 dibawah pimpinan Basong melancarkan serangan terhadap patroli aparat NICA dan KNIL di Segeri-Baruga. Pada pertempuran tersebut kepala kampung Segeri yaitu Siada tewas. Pada bulan yang sama pasukan yang dipimpin oleh Basong dan Labora melancarkan serangan tehadap NICA dan KNIL di Pangale-Majene dan selanjutnya pasukan dibawah pimpinan Haruna dan Bundu menyerang patroli KNIL di Pambuang.

(2) Mei 1946 kelaskaran GAPRI menyerang mata-mata musuh di Pangale, mengadakan pertempuran di Abaga, Tarring (Baruga), Simullu melawan Polisi KNIL.
Juni 1946, GAPRI makin giat melakukan serangan dengan menyerang banyak mata-mata dan tentara KNIL di jembatan Simullu.

(3) Juli 1946, GAPRI menyerang pasukan KNIL yang sedang melakukan patroli di Pamboang dan asing-asing.
Selanjutnya pada bulan Agustus, September, Oktober, dan Desember pasukan GAPRI melakukan beberapa panghadangan terhadap pasukan Belanda. 
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI di Majene terhadap pemerintah NICA dan tentara KNIL tersebut, bukannya membuat Belanda menciut tetapi malah semakin meningkatkan provokasi dan penindasan kepada rakyat dan pejuang dengan ditangkapnya beberapa pejuang penting yang membuat pergerakan GAPRI semakin tersudut.
Perlawanan demi perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI 5.3.1. membuat Belanda makin geram dan jengkel. Kehadiran serdadu Westerling di Mandar tujuan utamanya adalah mengahncurkan seluruh pemberontak yang ada di Mandar tanpa terkecuali sampai ke akar-akarnya.

Letnan Gubernur Jenderal Dr. H. J. Van Mook di Batavia mengumumkan pernyataan “Keadaan perang dan darurat” atau SOB pada tanggal 11 Desember 1946 (Surat keputusan No. 1 Batavia 11 Desember 1946) yang dinyatakan berlaku di dareah Afdeling Makassar, Afdeling Bantaeng, Afdeling Parepare, dan Afdeling Mandar. Akan tetapi pada hakikatnya keadaan darurat perang dalam kenyataannya berlaku diseluruh daerah Sulawesi Selatan karena Kolonel H.J. Vries atas perintah Jenderal S. Poor mengeluarkan suatu perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran tentara dibawah perintahnya untuk serentak menjalankan operasi pasifikasi atau pengamanan berdasarkan SOB yang harus tegas, cepat, dan keras tanpa kenal ampun dengan melaksanakan penembakan mati di tempat tanpa proses pengadilan. 

Hal ini membuat pejuang GAPRI semakin tersudut karena pihak Belanda semakin gencar melakukan operasi dengan menyebar polisi kampung yang selalu mengawasi daerah-daerah yang menjadi pusat pergerakan di Majene.Inilah yang menjadi penyebab pergerakan pemuda di Majene semakin sempit akbat adanya polisi kampung yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka.

Pasca Panyapuang di Galung Lombok, tepatnya tanggal 4 Februari 1947 HBA Sangkala Menangkap dan membawa Maemunah ke Majene untuk di tahan. Dalam tahanan, Maemunah dan pejuang lainnya mendapat siksaan yang sangat kejam dari pihak Belanda. Sebelum Maemunah ditangkap, ia menyuruh suaminya untuk menghindar demi kelanjutan perjuangan. Pasukan Belanda di Parepare yang sejak awal sering melihat Djud Pance berdagang di kampung Langnga Parepare, Posisi Djud Pance menjadi buronan Belanda cukup mudah mengintainya. Meski demikian, Belanda rupanya tak harus mengerahkan pasukan untuk menangkap Pance, sebab rupanya Pance tak tega pada istrinya yang tersiksa di penjara  sehingga pada tanggal  7 Februari, Ia  menemui Maemunah dan langsung ditahan. Keesokan harinya Maemunah dibebaskan namun ia tak ingin bebas dan memilih di hokum sama suaminya.

Setelah lima puluh sembilan hari di tahanan, karena tidak didapatkan bukti kejahatan yang kuat, pada tanggal 6 April 1947 Pance bersama dengan 30 tahanan lainnya bebas. Namun berselang 3 hari, Pance kembali di tangkap dan langsung ditahan. Tetapi penangkapan Pance ini tidak menyurutkan Pejuang Mandar baik itu KRIS MUDA dan GAPRI untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda. Hal tersebut terbukti dengan perlawanan yang terjadi di beberapa daerah seperti Pamboang, Totolisi, Onang, Camba Pambusuang, dan lainnya.

Pada masa inilah Maemunah semakin berani mengikuti urusan-urusan perjuangan bekerjasama dengan pejuang di Makassar. Selain itu urusan Kelaskaran GAPRI 5.3.1 tetap dilanjutkan. Pembelian senjata api untuk dikirim ke Mandar dan Bangkala sebagai daerah yang masih bergejolak karena pejuang kemerdekaannya belum sempat ditangkap Belanda. Tepat pada tanggal 27 Desember 1949, seluruh tawanan pejuang kemerdekaan bangsa dibebaskan dan mulailah para pejuang dapat menghirup udara bebas. 

Setelah pembebasan, Maemunah dan lain-lain pulang ke Majene.  Maemunah dan rombongan tiba di Majene terus ke Baruga. Setelah proses perjuangan dan kondisi keamanan sudah mulai reda, Maemunah kembali menjadi Kepala SGB di Majene (1954-1960) dan menjadi Guru SGA berbantuan Muhammadiyah di Makassar. Tanggal 1 Januari 1963 Maemunah mengalami gangguan kesehatan sehingga dipensiunkan. Ia sembuh dari sakitnya setelah 11 tahun konsentrasi berobat. 
Pada tanggal 1 Desember 1973 ia ke Jakarta dan bekerja di PT. Air Baja, perusahaan besi baja pertama di Indonesia, milik H. Hamma’dia.  Di Jakarta, Maemunah tinggal di Teluk Gong Terusan Bendungan Utara No. 1 Jakarta Kota. 
Atas jasa-jasanya dalam pejuangan di daerah Mandar, Maemunah diberikan pengakuan sebagai veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dengan golongan A Tanda Jasa dari Departemen Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata oleh Laksamana TNI Soedomo tanggal 31 Juli 1982. Selain itu, atas jasa-jasanya pemerintah setempat mendirikan tugu perjuangan di bekas rumahnya di Baruga. Maemunah meninggal dunia di Makassar 21 Juli 1995 dan di makamkan di Pekuburan Dadi Makassar.